Bahaya Sesat Pikir di tengah Pandemi

bangku, berpikir, dalam ruangan
Penulis: Hendri Kurniawan

Sudah 54 hari, terhitung sejak kasus corona pertama kali diumumkan di Indonesia pada 2 Maret 2020. Hingga 25 April 2020 ini, jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 8.607 dengan 720 jiwa meninggal dunia dan 1.042 kasus sembuh. 

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan, berbagai data telah disajikan, dan berbagai statement telah disampaikan. Para pejabat, politikus, influencer, tak lupa tokoh agama bermunculan. 

Ketika harus berdiam diri dirumah, tiada pilihan lain bagi masyarakat selain menyantap informasi yang disajikan oleh media arus utama. Perang opini yang sepanjang waktu muncul di media tentunya membingungkan bagi masyarakat awam. Alih-alih membawa kebermanfaatan, kebingungan tersebut dapat menutupi informasi yang justru seharusnya penting untuk masyarakat dapatkan. 

Celakanya, penulis justru malah merasa keangkuhan dan keegoisan yang terlihat. Saling bantah sana sini demi panggung instan sesaat. Belum lagi, “panggung” itu sangat terlihat ketika pejabat turun secara langsung membagikan masker hingga bahan pangan. Seakan mendapatkan definisi baru dari kata “lucu”, yaitu ketika melihat seorang pejabat tinggi masih sempat memberikan bantuan secara langsung di jalanan. 

Beberapa diantaranya berakhir ricuh, dan sudah pasti mengabaikan prinsip physical distancing itu sendiri. Penyampaian bantuan melalui gugus tugas di level terendah pun rawan tidak tepat sasaran jika lebih mementingkan kepentingan golongan tertentu. 


Berlogika disaat corona 

Selain terlihatnya conflict of interest di tataran elit, berbagai informasi yang disajikan secara real time oleh berbagai lembaga tentunya dapat membuat masyarakat bimbang, mengingat tidak semua orang dapat memahami data secara tepat. 

Informasi mengenai pro kontra data, pro kontra kebijakan pemerintah, pro kontra kepatuhan pejabat dalam melaksanakan kebijakan serta tumpang tindihnya kebijakan itu sendiri memperparah kebimbangan pada tataran masyarakat. 

Sebagai contoh, data yang secara real time disajikan oleh WHO maupun pemerintah terkait angka positif, sembuh dan meninggal tidak bisa serta merta diterjemahkan menggunakan logika formal saja. Data antar negara disandingkan, seakan negara dengan angka kasus positif yang lebih kecil adalah lebih baik daripada negara dengan angka kasus positif yang lebih besar. 

Terlebih, klaim data tersebut disajikan untuk persaingan layaknya seorang guru membandingkan kemampuan murid satu dengan murid lainnya, tanpa proses dialektika sebelumnya. nonsense

Seorang yang menggunakan logika formal akan mengatakan 'A' sama dengan 'A', maka seorang yang memakai logika dialektik akan mengatakan bahwa 'A' belum tentu sama dengan 'A'. 

John Pickard dalam "Materialisme Dialektis" yang ditulis oleh Trotsky mengemukakan hal ini: "satu ons gula pasir tidak akan tepat sama dengan satu ons gula pasir lainnya. Adalah hal yang baik jika Anda menggunakan patokan takaran seperti itu untuk membeli gula pasir di toko, tetapi jika Anda lihat secara teliti, akan kelihatan bahwa takaran itu tidak tepat sama".

Kembali tentang data yang tersaji perihal corona, kita pun perlu berdialektika dalam memahaminya. Sederhananya, angka yang sama belum tentu merepresentasikan hal yang sama. Jumlah tes yang telah dilakukan, jenis tes yang dilakukan, jumlah total populasi, jumlah total sampel uji, kapasitas sistem kesehatan, dan masih banyak parameter lainnya yang dapat digunakan dalam proses berdialektika. 

Contoh sederhana, suatu negara bisa saja mengklaim negaranya memiliki 0 kasus positif korona. Namun pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah: berapa banyak pengujian yang telah dilakukan? Berapa banyak pengujian dilakukan dibandingkan total populasinya? dll. 

Ketika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, tak ada kesimpulan final terhadap sebuah jawaban. Sebuah jawaban akan melahirkan kembali pertanyaan. Begitu seterusnya sehingga kebenaran semakin teruji. Langkah selanjutnya adalah bagaimana data tersebut, sebagai suatu kebenaran, dapat membawa manfaat (implementasi). 

Adanya proses berdialektika akan mengembangkan ilmu pengetahuan. Penulis sendiri meyakini di negeri ini terdapat banyak orang pandai, tetapi penulis tidak yakin mereka yang pandai, akan pandai juga dalam menjalankan peran yang semestinya dilakukan. 


Menjadi bijaksana lebih penting 

Metode dialektika merupakan metode atau cara memahami sesuatu dengan melakukan dialog. Dialog berarti komunikasi dua arah, ada seseorang yang berbicara, dan ada orang lain yang mendengarkan. Dalam pembicaraan yang terus menerus dan mendalam, diharapkan orang-orang tersebut dapat menyelesaikan problem yang ada.

Sebagai contoh kasus: Seorang Gubernur mencurigai adanya kasus virus corona yang tidak masuk ke dalam angka resmi rilisan Kementerian Kesehatan, karena melihat fakta bahwa angka prosesi pemakaman di daerahnya tiba-tiba meningkat drastis. Pada 30 Maret lalu, dalam konferensi pers, Ia menyatakan bahwa pada bulan tersebut, terjadi pemulasaran dan pemakaman dengan menggunakan prosedur tetap (Protap) COVID-19 sebanyak 283 kasus di daerahnya. 

“Sejak tanggal 6 itu mulai ada kejadian pertama sampai dengan kemarin tanggal 29, itu ada 283 kasus,” sebut sang Gubernur. Angka 283 ini kemudian banyak menjadi perbincangan di tingkat masyarakat maupun kalangan media.

Dimakamkan menggunakan protap COVID-19 bisa saja termasuk: (1). Jenazah dengan hasil tes positif; (2). Jenazah dengan hasil tes negatif; (3). Jenazah dengan hasil tes yang belum keluar. 

Kebingungan masyarakat nampaknya muncul karena pernyataan itu disampaikan oleh sang Gubernur secara dramatis. Banyak orang kemudian salah menangkap informasi inti, yakni: terdapat pemakaman 283 kasus menggunakan Protokol COVID-19, bukan terdapat 283 kasus meninggal karena COVID-19 di Jakarta. Dua hal yang berbeda tentunya. 

Jangankan di tataran elite, sekelas mahasiswa tingkat sarjana pun mampu mempertahankan argumen terkait data yang dibawanya saat sidang skripsi di hadapan sang dosen. Yang lebih penting adalah menjadi bijaksana. Bijaksana dalam menyampaikan informasi, menerima informasi serta menyebarkan informasi. Mencoba menyelami akar permasalahan, melihat dari perspektif lain, bahu membahu untuk meleburkannya menjadi solusi bagi keselamatan bangsa. 

Bersatu lawan Pandemi 

Banyak pihak mengapresiasi langkah pemerintah dalam menggelontorkan stimulus senilai Rp405,1 triliun sebagai dana tambahan untuk menanggulangi Covid-19. Stimulus yang digelontorkan sudah selayaknya dimanfaatkan sebaik baiknya dan jangan sampai ada pihak-pihak yang “menyalahgunakannya”. 

Terlepas dari benar salahnya, tepat atau tidaknya kebijakan yang telah dikeluarkan, semua hasilnya akan percuma apabila pandemi ini tidak dipandang sebagai satu musuh bersama. 

Dukungan dari semua pihak, partisipasi seluruh elemen masyarakat, serta keikhlasan untuk menurunkan ego diharapkan mampu mendorong terjadinya proses dialog. Proses tersebutlah, yang kemudian sangat menentukan keberhasilan bangsa ini keluar dari masalah yang juga dihadapi di belahan dunia lainnya. Dan yang terpenting, jangan sampai kita terjebak dalam pandemi ini karena proses sesat berpikir….


**Penulis berprofesi sebagai RnD perusahaan swasta di bidang bioteknologi
Dapat dihubungi melalui surel: hendrikurnia95@gmail.com

No comments:

Powered by Blogger.