Refleksi Menjadi Seorang Aktivis (Resensi Buku Manusia Dahulu Aktivis Kemudian)

Penulis: Danang Kurnia Awami

Judul      : Manusia Dahulu Aktivis Kemudian 

Penulis   : Syahrul Ramadhan 

Penerbit : Inoffast Publishing 

Kota/ Tahun : Surabaya/2020 

Halaman : vi + 100 halaman 


Buku ini ditulis oleh Syahrul Ramadhan. Penjelasan tentang identitasnya akan sulit ditemukan di buku miliknya ini. Tak ada halaman biodata dan di bagian pengantarnya pun, tak ada yang menyinggung tentang jejaknya selama ini. Ia sebatas menyebutkan pernah atau masih menapakkan dirinya di dunia aktivis untuk memperkenalkan dirinya. 

Ia mengakui bahwa dirinya pernah ada di IPM dan IMM. Kemungkinan besar bahwa pengalamannya di dua organisasi tersebut juga menjadi bahan refleksi yang tertuang di buku ini. Buku ini berisi berbagai refleksinya terhadap sekitarnya. 

Isi buku ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu manusia dahulu dan aktivis kemudian. Bagi penulis, bagian pertama adalah refleksi kemanusiaan yang dilakukan penulis seputar dirinya. Hal tersebut menjadi ajang evaluasi bagi dirinya tentang pencapain menjadi manusia yang seutuhnya. 

Dalam pengantar yang disampaikan penulis, penulis juga menjabarkan bahwa bagian kedua tentang refleksi keterlibatan dirinya sebagai seorang aktivis dan dunia aktivis. Pengalamannya diutarakan tak secara langsung di dalam tulisan-tulisan di buku ini. 


Menjadi seorang aktivis tidak bisa dikatakan mudah. Terlalu banyak resiko yang akan dihadapi ke depannya. Resiko itu perlu menjadi bahan pertimbangan apakah kita akan memilih jalan ini atau tidak. Karena aktivis bukanlah sekedar nama atau gelar yang bisa didapatkan atau dibangga-banggakan layaknya jabatan. Menjadi aktivis berarti mengemban tanggungjawab besar untuk umat dan bangsa. 

Aktivis seringkali dikenal dengan resiko bawaan berupa kerentanan. Tingkat kerentanannya cukup tinggi, apalagi kalau asalnya adalah latar belakang yang (dianggap) tak cukup kuat di kehidupan bermasyarakat. Banyak hal yang harus diselesaikan untuk dirinya dan orang lain. 

Tak sedikit orang yang mengatakan bahwa perlu menuntaskan dirinya dulu sebelum orang lain. Buku ini mengulas soal itu. Hanya saja bahasa yang dipakai berbentuk manusia dahulu, aktivis kemudian. 

Dalam bagian manusia dahulu, tulisan-tulisannya mengenai pembekalan moral. Tak hanya tentang apa yang harus diperlakukan untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana kemudian untuk berinteraksi sosial. Ia tuangkan pesan tersebut melalui tulisan yang mengandung sisi agamisnya. 

Soal penuntasan diri seringkali menjadi bahan debat bagi para aktivis. Penyebabnya adalah itu intruksi yang abstrak. Tiap orang akan memiliki jawaban berbeda tentang ukurannya. Apa yang penulis tuliskan di sini mengandung ukuran itu. Penulis mengajak pembaca untuk berpikir ukuran apa yang akan dipakai untuk menyikapi sesuatu. Contohnya perihal kekayaan, bagaimana orang itu bisa disebut kaya dan disebut miskin. 

Setelah itu, barulah penulis mengajak untuk bicara keaktivisan. Jika manusia dahulu berkaitan dengan prespektif, aktivis kemudian lebih cenderung mengenai aplikasi dari prespektif kita di dunia gerakan. Bagian aktivis kemudian diawali perbincangan bertema paradigma yang menjadi pilihan untuk bertindak dalam gerakan sosial. 

Di dalam dunia gerakan, kita tidak akan berdiri sendiri. Kita libatkan diri dalam organisasi dan lebih dari itu, kita akan bergerak dari organisasi ke aliansi. Lebih lanjut lagi, kita pasti akan memasuki kehidupan kerakyatan yang begitu luas. Hal ini perlu pegangan soal tindakan-tindakan sosial yang perlu kita ambil. Refleksi akan menjadi bekal penting untuk bertindak. 

Paska refleksi adalah aksi. Aksi ini tak melulu berbicara mengenai demonstrasi, tetapi tindakan kita atas refleksi. Aksi aktivis erat sekali dengan masyarakat, terutama yang disebut sebagai golongan tertindas. Kehadiran kita di tengah masyarakat tidak layak diibaratkan seperti sesosok hero atau pahlawan. Hal ini yang terkadang menjadi kekeliruan kita. 

Kehadiran di tengah masyarkat perlu memunculkan partisipasi masyarakat itu. Dimana masyarakat tak memiliki ketergantungan pada kita. Namun, masyarakat lah yang memimpin dirinya sendiri. Itu lah yang kemudian disebut sebagai aksi partisipatif di dunia aktivis. Hal ini juga diulas oleh penulis. 


Setiap orang memiliki refleksi berbeda-beda. Hasil refleksi memang perlu untuk menjadi bahan diskusi ataupun ajang bertukar pikiran dengan saling kritik. Namun, saya tak pantas untuk memberikan komentar berlebihan terhadap buku ini. Alasannya, tulisan-tulisan ini tak sejak awal diperuntukkan untuk publikasi secara luas, terutama dalam bentuk buku seperti ini. 

Hal yang saya patut komentari adalah buku ini menarik untuk dibaca oleh kawan-kawan, terutama para pelajar yang belum cukup lama atau akan berada di dunia aktivis. Buku ini bisa menjadi pemantik untuk refleksi diri. Mengapa saya mengatakan seperti itu? Karena seringkali aktivis terlena dengan dunia kebenaran ideologi yang dianutnya. Akhirnya, yang terjadi adalah tak tuntasnya tindak lanjut atas refleksi yang berujung merusak gerakan itu sendiri.

Penulis Danang Kurnia dapat disapa lewat akun IG @Danangka

No comments:

Powered by Blogger.