Pandonga

Penulis: Fauzie Nur Ramadhan


Pagi ini aku beranjak keluar rumah. “Setelah sekian lama”, gumamku.

Dari jalan yang satu ke jalan yang lain kutelusuri.

Aku bertemu banyak orang, ada pedagang bakso, loper koran, dan banyak lagi.

Aku melihat beberapa pekerja sedang asyik menyantap makan siang dengan lahap.


Pasar tradisonal terlihat penuh sesak, riuh berisi pembeli dan penjual yang berjumpa.

Kawasan pemukiman padat penduduk tak luput kulewati.

Seperti biasa, banyak anak kecil berlarian dan di tengah jalan yang sempit itu.

Pusat bisnis di tengah kota juga ramai, beragam profesi tumpah ruah di sana.

Aku berhenti sejenak di depan sebuah rumah sakit yang berdiri megah.

Konon katanya itu adalah medan perang. Doa, tangis, bercampur jadi satu.

Tidak banyak berbeda dengan semua tempat yang kulalui, juga banyak orang di sana.

Aku hanya terdiam, hanya bisa berdoa untuk para pejuang tanpa kenal lelah.

Nyawa taruhannya. Seketika bulu kudukku berdiri.

Akhirnya, aku kembali pulang. Pelesiran hari ini sudah cukup, pikirku.

Kuletakkan telepon genggamku, dan melamun di teras rumah.

“Andai suasana hari ini ramai seperti yang terlihat di layar tadi”

Semua keramaian yang kulihat hari ini hanya gambar dalam sebuah aplikasi.

Semua gambaran itu hanya memori yang diharap kembali lagi.

Semua tak lagi sama sejak beberapa minggu terakhir.

Semua yang terdampak, berjuang dengan caranya masing-masing, bahu membahu.

Dan semua orang, berdoa akan hal yang sama;

Semoga Ibu Pertiwi lekas sembuh.

No comments:

Powered by Blogger.