Konspirasi Busuk antara Maling, Demit dan Elite Global

person holding black and white playing card
Penulis : Rizal Abdurrahman

Cerita tentang maling dan demit 

Dengan bermodalkan pentungan kayu, para warga di kampung saya sekarang memiliki jadwal ronda. Meski jalur masuk sudah dikanalkan menjadi satu pintu, tetapi mereka tetap menjaga titik-titik tertentu hingga semalaman suntuk. 

Kegiatan ini dilakukan merespon semakin maraknya, kasus “kemalingan” yang terjadi di sekitar kawasan kampung kami. Berita pemburuan tersebut dengan cepat menyebar bak virus yang kita hadapi tempo hari ini. Media penyebarannya beragam, ada dari story instagram maupun chat whatsapp, yang pasti berasal dari kawan-kawan kami yang kebetulan tinggal di kampung sebelah. 

Untuk mengatasi hal tersebut, kurang lebih strategi ini yang kita pakai. Kalau dapat berita kemalingan dari kampung bagian utara, para penjaga ronda berbondong-bondong mengepung jalan masuk di sebelah utara. Begitu pula jika ada kabar maling lari dari kampung bagian barat, kami pindah bersiaga di jalan masuk bagian barat. 

Sialnya, para petugas ronda tak juga kurang siaga, karena tak ada maling yang betul-betul berhasil kami tangkap. “Woo lha celeng!, maling-maling itu kok ya gesit berlari dan bersembunyi,” pikir kami sesaat. 

Belakangan baru kami tahu, bahwa maling yang katanya di drop dari mobil ke kampung-kampung itu ternyata cuma berita palsu. Memang ternyata, tak ada orang yang betul-betul melihat maling yang berkeliaran. 

Para warga kampung lagi-lagi luput, mempercayai berita simpang siur kemalingan yang didapat dari kawan lain, dan si kawan itu ternyata mendengar lagi dari kawan lainnya, dan begitu seterusnya. 

Pada suatu ketika, ada orang yang mengaku melihat maling itu di suatu rumah kosong. Ia menceritakan kecurigaannya itu pada petugas ronda, karena Ia menduga pintu di rumah itu dirusak dan ada suara-suara aneh dari dalam. 

Lebih cepat dari kecepatan cahaya, orang-orang sekampung mengepung rumah kosong itu, meng-update berita pengepungan di story whatsapp dan instagram, juga mengabarkan pula pada kawan-kawan lainnya di kampung-kampung terdekat. 

Orang-orang semakin ramai berdatangan, dan celakanya rumor itu menjadi semakin dipercayai oleh masyarakat. Setelah rumah kosong itu di-grebek, sesuai sebutannya, rumah itu ternyata memang kosong mlompong, tak ada sesuatu yang bisa ditemukan termasuk si maling yang dicurigai tadi. 

Penjaga ronda dan warga yang sudah sangat sigap untuk mengeksekusi, tentu kecewa bukan main. Namun yang patut diapresiasi, semangat mereka tak pernah padam. Bahkan setelah membubarkan diri, orang-orang ini masih percaya bahwa maling di rumah kosong itu, mempunyai ilmu “kemalingan” tertentu, sehingga dapat menghindarkan dirinya dari amuk massa pada malam itu. Gila memang! Sakti betul! 


Dari kejadian tersebut, warga tetap bersiaga menjaga kampungnya masing-masing. Kegiatan ronda tetap jalan sebagaimana mestinya. Tapi saya sendiri malah menjadi skeptis, dalam benak muncul pertanyaan, “Jika para warga mempercayai rumor-rumor tak berdasar itu, tapi hasilnya adalah peningkatan kewaspadaan dalam masyarakat, apakah itu merupakan hal yang baik atau justru buruk bagi kampung kami?”. 

Saya sendiri ndak mau menjawab pertanyaan tersebut, karena mungkin jawaban dari batok kepala saya juga pragmatis. Kalau yang dipercaya orang banyak itu hasilnya lebih banyak baiknya dibanding buruknya, ngapain saya harus repot-repot nyinyirin kepercayaan orang lain. 

Lagipula, saya tidak perduli betul atau tidaknya peningkatan kemalingan karena faktor pandemi, toh menurut saya, setiap tahun menjelang puasa dan hari raya memang kriminalitas selalu meningkat. Jadi saya malah memikirkan hal lain, saya membayangkan kejadian itu terjadi pada situasi yang lain. 

Misalnya nih, kejadiannya sama - ada rumah kosong, pintu rusak, dan suara aneh dari dalam – namun tidak terjadi pada waktu orang-orang sedang “parno” dengan berita kemalingan. Anggaplah si Fulan, di hari-hari biasa, mendengar cerita temannya yang mengaku melihat dedemit di suatu rumah kosong. Kemudian Ia menonton film horor di sore hari, sepulang dari teater Ia berjalan seorang diri ditengah kampung yang sedang sepi-sepinya. 

Tentu ceritanya akan menjadi lain. Fulan bisa jadi akan menghubungkan kejadian yang Ia alami dengan ketakutannya akan demit yang Ia bayangkan seharian. Dalam konteks ini yang akan dibayangkan tentu bukan seorang maling, melainkan dedemit. 

Karena saking takutnya, tidak akan terpikir olehnya bahwa perusakan pintu itu akibat ulah maling yang sedang bersembunyi. Rumah itu, alih-alih di kerumuni warga, mungkin malah dihindari sama sekali dalam waktu-waktu setelahnya. Semakin berita menyebar, maka akan semakin dipercaya secara umum bahwa: Rumah kosong itu dihuni demit!! 

Kepercayaan yang salah 

Fenomena itu wajar saja. Orang memang takut dengan sesuatu yang tidak diketahui, lebih-lebih jika yang tidak diketahui itu dihubungkankan pada sesuatu yang jahat, tidak mengenakkan dan mengancam. Jika seseorang diliputi ketakutan semacam itu, pikirannya menjadi kacau. 

Dalam suasana yang penuh ketidakpastian orang ingin buru-buru lari dari suasana tersebut menuju suatu penjelasan yang bisa dipegang agar bisa menjadi harapan. Setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri. Natural saja jika seseorang punya naluri survival yang toh telah turun temurun diwariskan ke kita melalui evolusi sejak manusia sapiens pertama. 

Jika sesuatu yang tidak diketahui mengancam eksistensi diri, siapapun akan mempertahankan diri. Hal ini dapat dianalogikan dengan orang yang tenggelam di tengah laut. Dalam keadaan panik ia akan mencari-cari barang mengambang apa saja yang bisa dipegang. Bahkan mungkin tidak peduli apakah barang mengambang itu pelampung, kayu, atau malah benda kuning residu pencernaan manusia, hahahaha~ 

Belakangan, dari medsos yang saya buka di sela lamunan, netizen juga sedang ramai-ramainya membicarakan konspirasi virus. Mekanisme pertahanan diri yang dilakukan si Fulan, tetangga kampung saya itu, rasanya sedang berlaku juga pada penghayat konspirasi. Tak dapat dipungkiri, bahwa memang sedikit sekali orang yang mengetahui secara utuh tentang “Corona Virus Disease 2019” ini, di sisi lain korban berjatuhan begitu banyak. 

Kita diserbu informasi yang tak henti-hentinya mengenai bahaya virus ini. Kita hanya dihimbau untuk menjaga jarak agar tidak tertular. Dengan penuh kedisiplinan, kita mengisolasi diri selama sebulan lebih tanpa betul-betul tahu, sampai kapan malapetaka ini akan selesai? Apakah ada yang mengetahui secara utuh siapa yang mendesain semua ini? Siapakah jahanam yang bertanggungjawab untuk ini? 

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, tidak mengenakkan, sekaligus mengancam ini, kita ingin penjelasan yang bisa dipegang untuk mekanisme pertahanan diri kita. Kalo bisa ga perlu rumit-rumit lah, yang instan saja dan bisa dikonsumsi sembari rebahan. 

Celakanya narasi-narasi (saya enggan menyebut beginian sebagai teori) konspirasi seperti ini memang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umum itu dengan tidak bertele-tele. Bahkan mungkin jawaban-jawaban itu lebih enak didengar daripada penjelasan dan narasi juru bicara gugus tugas yang lempeng, tidak peka serta minus stimulus harapan. Tidak percaya? Coba lihat saja percakapan host kenamaan mantan magician, dengan salah satu influencer pendiri “100 entertainment” di akun youtube-nya. 


Tetapi meski begitu, inilah contoh bahaya menganut kepercayaan yang salah. Setelah video youtube itu viral, banyak orang spontan tidak mempercayai bahaya Covid-19. Bahkan tiba-tiba banyak yang merasa jadi ahli politik virus global, hanya karena telah menonton video tersebut. Hadeeeh, lha wong yang buat video saja mengklaim itu hanya obrolan biasa. 

Dengan percaya diri pemercayanya enggan mengikuti imbauan jaga jarak untuk menghindari penularan. Ini berbahaya, sebab sejauh yang saya tahu, virus ini dapat menyebar dengan cepat ke siapa saja tanpa perlu mengindahkan apakah orang itu percaya pada dampak virus ini atau tidak. Tanpa perlu mengindahkan juga apakah memang ada agenda-agenda terselubung dari so-called p4r4 3l1te Gl0bal atau tidak. 

Memang mungkin ada orang yang super berkuasa, cerdas, kaya sekaligus biadab yang bisa mengancam siapa saja, itu bisa diperdebatkan, tapi korban-korban yang mati itu jelas-jelas nyata. Jika paru-paru kalian penuh dengan lendir karena terinfeksi, lantas tak bisa berfungsi menyetok kebutuhan oksigen di darah, ya jantung kalian tentu bisa berhenti dan kalian tetap bisa mati tanpa perlu percaya dan mengerti pada suratan-suratan alam macam itu. 

Sepragmatis apapun batok kepala saya, kepercayaan macam begini jelas-jelas jauh lebih mendatangkan mudharat dibanding manfaat, sehingga itu pantas kita nyinyiri rame-rame (tentu dalam damai, ehe). 

Tapi, sudahlah. Akui saja kalau memang banyak hal yang kita tidak tahu. Jangan merasa semua hal sudah diketahui lantas tak mau menerima kebenaran baru. Kadang-kadang dengan berdamai pada ketidaktahuan, orang malah tidak mudah diselimuti ketakutan yang tidak perlu, bahkan justru mampu menemukan pengetahuan-pengetahuan secara lebih mendalam. 

Contohnya dengan fenomena rumah kosong di kampung sebelah saya itu. Jika si Fulan tetap berpegang pada fakta-fakta bahwa hanya mengetahui ada rumah kosong, pintu rusak, dan ada suara aneh saja, tanpa merasa tahu dengan menghubungkanya pada prasangka-prasangka pribadinya, Ia tak akan ketakutan. 

Malah Ia bisa mengeksplorasi rumah kosong itu dan menemukan fakta bahwa rumah itu terbengkalai karena acuhnya warga pada kebersihan, sehingga bunyi berisik yang berasal dari rumah itu ya mungkin karena hewan-hewan liar yang sedang mabar, misalnya. 

Dengan pengetahuan yang benar, warga akan membersihkan dan memanfaatkan rumah tersebut sebagai gudang atau kandang. 

Contoh lain ya tentang konspirasi virus itu. Jika elite ndak keburu-buru sok tahu tentang seluk beluk virus dengan lelucon macam empon-empon atau Qunut, dan tetap berpegang pada fakta-fakta yang valid dan terkonfirmasi, kita mungkin tak perlu bereaksi dengan ketakutan yang tidak diperlukan sekarang. 

Jika skenarionya begitu mungkin sejak awal, negara menyisihkan anggarannya untuk bidang kesehatan dan riset tentang bahaya pandemi ini untuk mengantisipasi dampaknya secara efektif sedini mungkin, bukannya malah di bidang pariwisata. 

Malahan jika skenario diatas bisa terjadi, kita ndak perlu repot-repot mendengarkan konspirasi covidiot yang punya jawaban serba instan ini, ataupun membaca tulisan ini yang juga sama tidak pentingnya hingga kalimat akhir. Saya juga kan bisa sampai ndak perlu nyinyir begini. Huft.

No comments:

Powered by Blogger.