Potret Sistem Pendidikan Selama Pandemi

Penulis : Putra Adibil Anam

Saat ini dunia sedang dikejutkan oleh wabah Covid-19 yang sangat meresahkan masyarakat. Selain berdampak pada aspek kesehatan, virus ini disinyalir telah memporak-porandakan segala aspek kehidupan, termasuk pada aspek pendidikan. 

Telah diketahui bersama, sebagai upaya penanggulangan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pemerintah telah menghimbau masyarakat agar melaksanakan social distancing. Tidak sedikit pula sekolah dan universitas yang telah melakukan sistem belajar mengajar secara daring. 

Hal itu sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran tersebut, termaktub bahwasanya proses belajar-mengajar dilakukan dari rumah melalui daring online untuk memberikan pengalaman bagi siswa tanpa terbebani tuntutan capaian kurikulum pembelajaran. 

Tentu sistematika pembelajaran ini sangatlah jauh berbeda dengan sistematika sebelumnya. Para aktor pendidikan dituntut harus siap melaksanakan sistem ini. Walaupun sistematika pembelajaran ini bukan merupakan pertama kalinya, namun masih terdapat kendala-kendala yang perlu di evaluasi bersama. 

Ketidaksiapan para aktor pendidikan melaksanakan sistematika daring menjadi faktor ketidakefektifan ini. Peralihan sistem pembelajaran ini memaksa berbagai pihak untuk mengikuti alur yang bisa ditempuh agar pembelajaran tetap berlangsung. 

Dengan kecanggihan teknologi seperti saat ini, maka hal tersebut menjadi pilihan sebagai media keberlangsungan pembelajaran. Namun nyatanya, penggunaan tekonologi inipun bukan tanpa masalah. Masih terdapat banyak faktor yang menghambat proses pembelajaran, sehingga mengakibatkan ketidakefektifan proses belajar mengajar melalui daring. 

Baca juga: Masygul Pendidikan Tinggi Indonesia: Sebuah Perspektif Awam Mahasiswa

Adapun beberapa faktor yang menghambat proses pembelajaran melalui daring diantara adalah sebagai berikut: 

Pertama, sarana dan prasarana yang terbatas. Walaupun di era disrupsi teknologi seperti saat ini, masih banyak guru maupun siswa yang belum memiliki perangkat teknologi yang mendukung untuk melakukan pembelajaran melalui daring. Hal itu terlepas dari anggapan sebagian masyarakat yang menganggap teknologi bukan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. 

Juga dalam praktik, penguasaan teknologi oleh para aktor pendidikan yang masih rendah. Hal itu tidak bisa dipungkiri, karena tidak semua guru melek teknologi, terutama yang lahir di generasi X (tahun 1980 kebawah) yang notabene pada saat itu penggunaan teknologi belum begitu masif. 

Keadaan serupa juga dialamai oleh para siswa yang tidak terbiasa menggunakan teknologi dalam keadaan sehari-hari. Minimnya penguasaan teknologi oleh para siswa ini tidak terlepas dari faktor lingkungan yang tidak mendukung. Pun dalam praktiknya, mereka harus berebut dalam menggunakan perangkat teknologi pendukung pembelajaran karena keterbatasan sarana yang dimiliki sekolah, bahkan mereka tidak dikenalkan teknologi dalam pembelajaran di sekolahnya. 

Kedua, jaringan internet dan biaya yang cukup tinggi. Pembelajaran melalui daring ini tidak terlepas dari peranan jaringan internet. Kendala yang sering dikeluhkan oleh aktor pendidikan adalah kualitas jaringan yang tidak stabil, sehingga dapat menghambat proses pembelajaran melalui daring. 

Dapat dipastikan kualitas jaringan ini menyesuaikan dengan letak geografis suatu daerah. Sampai saat ini masih terdapat ketimpangan akses internet di suatu daerah, layaknya di suatu daerah terpencil akan relatif sulit dibandingkan dengan daerah perkotaan. 

Selain itu, biaya kuota yang tidak murah menjadi masalah sendiri bagi para aktor pendidikan. Biaya kuota internet yang kian melonjak mengakibatkan ketidaksiapan menambah anggaran dalam menyediakan jaringan internet oleh para aktor pendidikan. 

Penulis sendiri sangat mengapresiasi kebijakan oleh PT. Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dan platform jaringan internet lainnya yang telah melakukan kerja sama dengan beberapa universitas untuk memberikan kuota gratis bagi para mahasiswanya. Sayangnya, kebijakan tersebut hanya masih diterapakan di tingkat perguruan tinggi, sedangkan pada tingkatan dasar dan menengah belum menemukan titik tengah dalam penanggulangan kuota internet. 

Baca juga: Pendidikan yang Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Sudah Sejauh Mana?

Ketiga, model pembelajaran daring yang salah kaprah. Siahaan (2003) mengatakan bahwa pembelajaran online memiliki fungsi seperti suplemen (tambahan), komplemen (pelengkap), dan substitusi (pengganti). Dimana hal ini menjadi suplemen siswa agar dapat memilih apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran online atau tidak, juga sebagai komplemen materi yang seharusnya didapatkan oleh para siswa, padahal metode pembelajaran ini diprogramkan untuk pemberian materi secara online kepada siswa. 

Hal ini sangat kontradiktif terhadap apa yang sekarang terjadi di lapangan. Dimana para pengajar hanya menggunakan tugas sebagai bahan absensi para siswa, sehingga hak siswa untuk mendapatkan materi pembelajaran tidak terpenuhi. Model pembelajaran tersebut seringkali justru menjadikan para siswa tertekan dan terbebani. 

Hal itu dapat dilihat dengan adanya aduan oleh beberapa orang tua siswa kepada dinas pendidikan yang menyayangkan proses pembelajaran yang salah kaprah. Bukan ilmu yang didapat justru sebaliknya. 

Potret pendidikan tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Walaupun dapat dikatakan masih banyak kekurangan yang menunjang proses pembelajaran lewat daring, diharapkan akan terus ada terobosan-terobosan baru yang mampu memperbaiki proses pembelajaran kedepannya. 

Penulis sendiri sangat mengapresiasi kinerja pemerintah yang selalu memperhatikan warga negara dalam aspek pendidikan yang telah diamanatkan dalam konstitusi. Hubungan hak dan kewajiban antara negara dengan warga negara dalam memenuhi hak pendidikan masih terjalin cukup erat. 

Kondisi force majeur (keadaan memaksaa) seperti saat ini menuntut aktor pendidikan agar memaksimalkan proses pembelajaran secara optimal. Diharapkan kendala-kendala yang menjadi perhatian publik menjadi bahan evaluasi untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara daring. 

Pada hakikatnya kualitas pendidikan itu mencerminkan entitas suatu bangsa. Hal itu sangat penting mengingat dalam tujuan bangsa Indonesia sendiri ialah mencerdaskan kehidupan bangsa yang termaktub dalam alenia keempat pembukaan UUD NRI 1945. 


** Penulis adalah anggota Forum Kajian Penulisan Hukum (FKPH), Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

No comments:

Powered by Blogger.