Konspirasi Elite Global: Ya Ngga Apa-Apa Juga!


Free Mason book in selective focus photography
Penulis: Jordan Elang

Mari memulai tulisan ini dengan pertanyaan retoris: “Mengapa manusia cenderung berfikir dan mempercayai teori konspirasi?” 

Sebelum konspirasi mengenai COVID-19 memenuhi wacana ruang publik saat ini, secara historis manusia sudah pernah mengalami konspirasi-konspirasi besar yang lain, seperti penyihir-penyihir di Eropa pada Abad Pertengahan dan eugenika di hampir seluruh dunia. 

Tidak sedikit teori konspirasi ini berakhir tragis dan menorehkan catatan kelam dalam buku sejarah. Sebelum membahas terlalu jauh, maka dibawah ini penulis memberikan konsepsi awal terlebih dahulu untuk mengelaborasi bagaimana seseorang bisa mempercayai teori konspirasi. 

Pengantar

Dalam perspektif neuroscience, untuk mengambil sebuah keputusan, otak membedakan antara apa yang dikategorikan sebagai otak emosi dan otak rasional. 

Kontradiksi ini dalam literatur Yunani Kuno dapat ditemukan melalui Platon. Ia menyatakan bahwa emosi dan rasio secara alegoris digambarkan seperti kuda yang saling tarik-menarik dan berbeda arah. 

Kita biasanya memahami pertentangan ini secara intuitif, dengan mengkategorikan antara ‘hati’ dan ‘kepala’. Pada dasarnya, otak rasional yang ada dalam sistem saraf manusia baru berkembang belakangan, dibandingkan dengan otak emosional yang sudah berkembang selama jutaan tahun. Manusia pada umumnya menggunakan otak emosi mencapai 98% berbanding 2% otak rasional. 

Secara evolusioner, manusia sebagai organisme, sama seperti organisme lainnya mengembangkan otak sebagai tools, tujuannya adalah untuk bertahan hidup. Pada perkembangannya, otak emosi cenderung lebih berkembang dan mendominasi untuk memandu respons tingkah laku organisme dalam konteks tertentu. 

Misalnya, memunculkan ketakutan untuk segera menghindarkan diri dari suatu ancaman. Bisa dikatakan, otak emosi menggerakkan kehidupan sehari-hari organisme. 

Teori konspirasi mengenai Covid-19 hari-hari ini sedang booming dan berhasil merebut wacana publik. Awalnya bermulai dari publikasi video TEDx dan kontroversi latar belakang Bill Gates sebagai salah satu orang terkaya di dunia, yang kebetulan juga mempunyai perusahaan berbasis teknologi. 

Saking banyaknya konspirasi tersebut, saya mengambil dua fokus utama. Depopulasi dan vaksinasi. 

Anggapan pertama menyatakan bahwa pandemi ini diciptakan oleh Bill Gates dkk, untuk tujuan depopulasi karena bumi sudah terlalu banyak manusia. 

Sementara anggapan kedua, menyatakan bahwa ketika vaksin Covid-19 ditemukan, maka vaksin tersebut sebenarnya sudah ditanami ‘bio-nano-chip’ didalamnya, dengan tujuan untuk mengontrol manusia layaknya robot. 

Depopulasi & Vaksin 

Bill Gates dalam video TEDx yang berujudul: The Next Outbreak? We’re not ready, berargumen bahwasannya umat manusia pada abad ini, tengah mengalami periode perdamaian yang paling panjang dalam sejarah. Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah peradaban umat manusia. 

Pasca perang dunia kedua, secara umum dunia memang berada pada periode damai (terlepas dari kecamuk perang di negara-negara konflik seperti Israel-Palestina). 

Dengan pemahaman-pemahaman manusia tentang rasialisme dan/ atau etnisitas yang lebih baik, serta kemajuan-kemajuan yang dicapainya, manusia berhasil sedikit demi sedikit mampu lebih memahami konsepsi mengenai manusia itu sendiri. Dengan konsepsi itu, sedikit demi sedikit kita tidak lagi memandang manusia di luar kelompok sosial kita sebagai musuh lagi. 


Bill Gates kemudian mengajukan proposisi bahwa musuh umat manusia di masa depan, yang mampu menewaskan 10 juta manusia dalam sehari bukan lagi senjata perang, melainkan epidemi. 

Permasalahannya adalah, kita manusia pada periode ini tidak berbeda jauh cara berfikirnya dengan manusia pada periode yang sebelum-sebelumnya, bahwa anggaran dan investasi dalam pengembangan senjata lebih diutamakan ketimbang anggaran dan investasi dalam sains dan sains kesehatan itu sendiri. 

Termasuk biologi molekuler, virologi, dst. Bagaimana umat manusia gagal dalam merespons epidemi selanjutnya, menurut Bill Gates karena sistem kesehatan kita tidak siap untuk merespons epidemi selanjutnya tersebut. 

Hal ini yang kemudian disalahkaprahi oleh para pemikir agung teori konspirasi bahwasannya Bill Gates sudah tau akan terjadi epidemi – bahkan pandemi – dengan logika yang simpel, ketika seseorang sudah tau sesuatu hal akan terjadi, artinya masuk akal jika orang tersebutlah yang merencanakan untuk membuat virus tersebut. 

Fenomena New Emerging Infectious Disease (NEID) penyakit infeksi baru, sudah lama dibahas oleh para ilmuwan dan medis; Ebola, Flu Hongkong, Flu Burung, Nipah, Zika, Mers dan COVID-19, adalah contohnya. Sayangnya, bukan hanya Bill Gates, sudah banyak penelitian ilmiah yang dimuat dalam jurnal-jurnal yang sudah dipublikasikan mengenai NEID ini. 

Relevansinya dengan depopulasi? Statistik tidak menunjukkan hal yang demikian. Dengan sains, humanisme dan pengetahuan yang terus berkembang, peradaban menunjukkan bahwa umat manusia terus mengalami pertumbuhan penduduk dunia. 

Gambar 1: Pertumbuhan Populasi Manusia 

Bukan sekadar populasi manusia yang terus bertumbuh, namun angka harapan hidup terus naik. Di grafik gambar 2, menjelaskan pada pertengahan abad ke-18, angka harapan hidup untuk dunia secara keseluruhan adalah 29 tahun. 

Angka ini berada pada kisaran rentang hidup dari sebagian besar sejarah umat manusia. Harapan hidup nenek moyang kita para pemburu-pengumpul adalah sekitar 32,5 dan turun menjadi 30 pada Zaman Perunggu, dimana angka tersebut terus bertahan selama ribuan tahun. 

Sebagai perbandingan pada 1800, tidak ada negara di dunia yang memiliki angka harapan hidup di atas 40 tahun. Pada 1950, angka ini telah tumbuh menjadi sekitar 60 di Eropa dan Amerika. Diikuti oleh Asia dan Afrika di dekade-dekade selanjutnya. 


Gambar 2: Angka Harapan Hidup 

Sementara seorang filantropis seperti Bill Gates yang terlibat secara aktif dalam pencarian obat Malaria, turun langsung dalam epidemi ebola, juga vaksin melalui Bill Gates Foundation, dituduh sebagai ‘elite global’ dalang di balik causa sui pandemi. 

Tahukah kalian bahwa vaksin itu bukan bisnis yang menguntungkan bagi industri farmasi? Riset yang membutuhkan waktu yang lama serta penggunaannya yang hanya sekali pakai. 

Gerakan anti vaksinasi sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru, gerakan itu sudah terjadi sejak tahun 1796 ketika Edward Jener menemukan vaksin cacar. Misinformasi ini terus mendunia dengan alasan penolakan secara filosofis maupun keagamaan. 

Faktanya, dengan upaya pembuatan vaksin, umat manusia mampu menjadi negosiator ulung ketika berhadapan dengan malaikat maut atau bahkan dengan Tuhan itu sendiri. Kita bisa memberikan lebih dari argumen dalam klausul perpanjangan umur itu. 

Cacar dalam riwayatnya, pernah menjadi penyakit menular yang mematikan di berbagai negara, namun ketika projek memusnahkan cacar diinisiasi oleh WHO pada tahun 1967, manusia secara resmi mengumumkan kemenangannya terhadap cacar pada tahun 1980. Sejak saat itu tidak ada lagi orang yang meninggal karena cacar. 

Gambar 3: Vaksin dan Inovasi Penemuan dalam Sains Kesehatan 

Hewan yang Mudah Terpengaruh 

Kita sekarang tahu, bahwa ledakan populasi dan ketahanan umat manusia dimulai melalui revolusi agrikultur yang terjadi sekitar 12.000 tahun lalu. Untuk mengantisipasi ledakan penduduk, kita berinovasi untuk memanipulasi dan mendomestikasi kehidupan beberapa spesies seperti tumbuhan dan binatang. 

Sama halnya dengan 12.000 tahun yang lalu, manusia modern dengan revolusi sainsnya yang baru seumur jagung, bisa mencukupi kebutuhan kehidupannya. Dengan sains, kini manusia mampu untuk melakukan rekayasa genetika pada tumbuhan dan hewan, untuk berkembang lebih banyak dan menghasilkan lebih banyak. 

Tapi pertanyaan mendasarnya adalah mau atau tidak kita berinvestasi untuk sains? 


Fenomena teori konspirasi pada dasarnya sudah ada dan berumur setua peradaban manusia itu sendiri. Kita berkembang dan berevolusi dengan cerita-cerita dari teori konspirasi. 

Dari teori konspirasi itu pada akhirnya kita terobsesi dengan grand theory, yang bisa menyingkap apa itu kebenaran absolut. Kebenaran yang laa raiba fiihi, tidak ada keraguan sedikitpun. 

Kita tahu bahwa tidak ada kebenaran absolut, juga tidak penting menyingkap kebenaran itu. Yang kita tahu, misi satu-satunya gen adalah untuk mewariskan gen itu pada keturunannya dan juga mempertahankan kehidupan dengan cara apapun. 

Selama ribuan tahun, manusia mendasarkan sumber kebenarannya pada apa yang dikatakan sebagai authority based truth, yaitu apa yang diucapkan oleh otoritas, seperti tetua suku, tetua agama yang memiliki solusi untuk setiap permasalahan yang kita tidak peduli kebenarannya itu bisa di validasi atau tidak. 

Manusia selama ribuan tahun tidak mengerti bahwa bumi itu bulat, tidak apa-apa. Manusia selama ribuan tahun tidak mengerti bahwa ada banyak planet selain bumi dalam tata surya ya juga tidak apa-apa. Toh, kita tetap masih hidup dan terus meneruskan gen kita. 

Bahwa tidak ada realitas lain diluar bahasa. Imajinasi kita tentang hal; dalam imagined order-nya Harrari ataupun meme-nya Dawkins, merujuk pada ide yang dikonstruksikan melalui bahasa. Dalam perkembangannya revolusi kognitif memungkinkan manusia untuk mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya tidak ada. 

Kita tahu bahwa kekacauan kita dalam menentukan keputusan atau sikap itu dipengaruhi dominan oleh otak emosi alih-alih otak rasional. Sehingga kehadiran authority based truth (seseorang yang terkenal dan berpengaruh) disitu, hanya dengan menyulut emosi para pengikutnya mampu menjadi amplifikasi untuk mengacaukan cara seseorang berfikir. 

Dalam wacana juga inheren power, kehendak untuk menguasai. Dalam hal ini, konspirasi menghambat seseorang untuk berfikir skeptis dan menggunakan penalaran ilmiah. 

Lebih mudah untuk mengkonstruksi perasaan/ emosi menjadi sesuatu yang sudah jadi dan bisa digunakan sebagai pijakan berpikir sekaligus mengarahkan orang untuk melakukan sesuatu. Menolak vaksin contohnya. 

Namun, selagi teori konspirasi tumbuh dan berkembang secara evolusioner dalam gen kita, banyak dari teori konspirasi itu sendiri yang melahirkan tragedi. 

Ketika Eropa sedang berada pada zaman kegelapan, muncul teori konspirasi mengenai penyihir. Penyihir adalah manusia yang lahir dari perkawinan antara manusia dengan iblis. 

Konsepsi tentang iblis melebihi metafora puitis bagi kejahatan yang bersemayam dalam hati manusia. Paus Inosensius VIII dalam Bulla tahun 1484 memaklumatkan iblis yg bernama sukubus dan inkubus sebagai causa sui dari kematian bayi pada masa itu. 

Mulai dari situ segala perbuatan yang dianggap otoritas gereja dan kerajaan sebagai ‘sesuatu yang tidak pantas’ dan hanya berlandaskan emosional mereka secara kejam dan membabi buta menuduh ribuan orang – mayoritas perempuan – untuk dihukum dengan cara-cara keji yang diakhiri dengan inkuisisi atau dilemparkan pada api penyucian. 

Ya kalian benar, dibakar jadi manusia barbeque

Ketika Darwin dan Mendel mampu menyingkap misteri besar tentang kehidupan, sementara project tentang gen terus dikembangkan pada sekitar awal 1900-an di Inggris, muncullah ide mengenai eugenika (eugenics). 

Eugenika adalah konsepsi tentang ‘manusia super’ dengan cara memilih gen-gen terbaik untuk dikawinkan, dan secara bersamaan mensterilisasi gen-gen yang dianggap tidak bagus. Seperti orang-orang yang berpenyakit mental. 

Tujuannya adalah untuk mencegah orang-orang yang secara genetis tidak layak untuk hidup. Versi ekstrim dari eugenika terjadi di Jerman, ketika Nazi memberikan teori konspirasi berdasarkan pseudoscience bahwa ras paling tinggi ialah ras arya. 

Cerita ini pada akhirnya hampir semua tahu bahwa puluhan ribu orang dibantai atas nama program eugenika yang disalahkaprahi dan miskonsepsi ini. Di seluruh dunia termasuk Amerika-Eropa-Asia diperkirakan mencapai puluhan bahkan ratusan ribu. 

Sejak kasus outbreak pertama Covid-19 diumumkan pada Desember 2019 di Wuhan, kasus kematian akibat Covid-19 mencapai sekitar 250.000 orang. 

Secara paralel, ada sekitar 7 juta orang meninggal setiap tahunnya karena polusi udara yang disebabkan oleh asap pabrik dan asap kendaraan. 180.000 orang meninggal setiap tahun karena mengkonsumsi gula berlebih. 1 dari 96 orang meninggal dalam kecelakaan motor. 1 dari 127 orang meninggal karena kepleset. 1 dari 1.188 orang meninggal karena tenggelam. 1 dari 1.498 orang meninggal karena api. Dan 1 dari 3,461 orang meninggal karena tersedak. 

Singkatnya, saya pikir bahwa para pemikir agung teori konspirasi sudah harus memikirkan jangan-jangan mobil, motor, pabrik, gula, bahkan darah, tubuh, pikiran kita adalah hasil konspirasi elit global. 


Referensi: 

Tentang data statistik: 

Tentang vaksin non-profitable: 

Tentang neurosains: 


**Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret 
dapat dihubungi melalui surel: jordanelang8@gmail.com

No comments:

Powered by Blogger.