Corona Yang Meneror, Anarko Yang Ditangkap

Penulis : Dipo Suryo Wijoyo
"Sudah Krisis Waktunya Membakar." Kurang lebih karena stensil itulah 5 orang di Tangerang ditangkap polisi pada tanggal 4 April 2020. Kemudian ramai pemberitaan media mengenai rencana yang akan dilakukan gerombolan anarko pada 18 April 2020 untuk melakukan aksi penjarahan se- Jawa. 

Tapi, sebelum bicara terlalu banyak mengenai kejadian tersebut, saya terlintas untuk mencari tau apa dan siapa sebenarnya yang disebut anarko? Seberapa banyak anggota anarko di Indonesia? Kenapa bisa disebut sampai merencanakan penjarahan se- Jawa? 

Anarko sendiri adalah sebutan untuk orang atau sekelompok orang yang memiliki paham anarkisme. Lalu apa itu anarkisme? Anarkisme merupakan filsafat politik yang memiliki cita-cita penghapusan atas segala bentuk kekuatan yang koersif, hirarkis, dan otoriter, baik itu negara maupun institusi di masyarakat. 

Anarkisme berangkat dari gagasan bahwa kebebasan manusia hanyalah mungkin sejauh kebebasan itu sendiri otonom tanpa intervensi pihak lain yang memaksa. 

Bagi Anarkisme, negara maupun institusi pemilik otoritas yang memiliki kekuatan dan infrastruktur untuk memaksa dan kuasa terhadap yang lain adalah sumber dari segala ketimpangan, ketidakbebasan dan penindasan. 

Anarkisme berkembang menjadi banyak turunan ideologinya dari spektrum kiri hingga kanan, seperti anarko-kapitalisme atau anarko pasar bebas, anarko-transhumanisme, eko-anarkisme, anarko-feminisme, queer-anarkisme, anarko-kristen, anarko-pasivisme, anarko hijau, hingga anarko-sindikalisme.

Yang terakhir inilah yang menjadi gerakan besar, karena ia berangkat dari basis gerakan pekerja otonom yang sudah muak dan lelah ditindas oleh negara dan korporasi, sejak akhir tahun 1800-an di era lahirnya industri modern. Untuk penjelasan mengenai anarkisme yang lain, kalian bisa baca di Wikipedia atau referensi digital lainnya, jangan beli bukunya, nanti ditangkap.

Lalu, siapa sang pencipta paham anarkisme? sebenarnya saya terlintas dua nama saat membicarakan sejarah anarkisme, pertama Pierre-Joseph Proudhon, seorang ekonom dan filsuf sosialis Perancis yang merupakan orang pertama yang menyebut dirinya “anarkis” dan dianggap salah satu pemikir anarkis yang pertama.

Dia adalah seorang buruh, yang belajar membaca Latin secara otodidak hingga dapat mencetak buku-buku dalam bahasa Latin. Proudhon dikenal dengan pernyataannya “Kepemilikan adalah pencurian!” dalam surat resminya “Apa yang dimaksud dengan Kepemilikan? Atau "Pertanyaan Seputar Prinsip Hak Pemerintah” yang berjudul asli Qu’est-ce que la propriété? Recherche sur le principe du droit et du Gouvernement yang merupakan karyanya yang pertama, diterbitkan pada tahun 1840. 

Proudhon percaya bahwa kepemilikan kolektif bukanlah sesuatu yang diinginkan dan bahwa revolusi sosial dapat dicapai dengan cara damai. Nvama kedua saat membicarakan Anarkisme tentu saya terlintas pada nama Mikhail Bakunin. Sebelum membicarakan mengenai Anarkisme, Bakunin terlebih dahulu antusias dengan filsafat Fichte. 

Dari Fichte, Bakunin lalu membenamkan dirinya mempelajari karya Hegel, pemikir paling berpengaruh di kalangan intelektual Jerman pada saat itu. Ini membuatnya jatuh hati pada Hegelianisme, terpesona oleh pepatah Hegel yang terkenal, “Segala sesuatu yang ada bersifat rasional.” Pada tahun 1840, Bakunin pergi ke ke St Petersburg dan Berlin untuk mempersiapkan diri menerima keprofesoran dalam bidang filsafat atau sejarah di Universitas Moskow.

Pada tahun 1842, Bakunin pindah dari Berlin ke Dresden. Akhirnya ia tiba di Paris, tempat ia bertemu Pierre-Joseph Proudhon dan Karl Marx. Pada tahun 1868, Bakunin bergabung dengan International Pertama bagian Jenewa, tempat ia tetap sangat aktif hingga ia dikeluarkan dari International oleh Karl Marx dan pengikutnya saat Kongres Den Haag pada tahun 1872. Bakunin berperan penting dalam membangun cabang-cabang Internasional di Italia dan Spanyol.

Keyakinan politik Bakunin menolak sistem kekuasaan negara dan hierarkis dalam nama dan bentuk apa pun, dari ide Tuhan ke bawah, dan setiap bentuk otoritas hierarki, baik berasal dari kehendak badan berdaulat atau bahkan dari negara yang memungkinkan hak pilih universal dia tulis dalam bukunya di Dieu et l’Etat (Tuhan dan Negara)

Menurut Bvakunin “Kebebasan manusia terdiri semata-mata dari ia mematuhi hukum-hukum alam karena ia sendiri telah mengakuinya, dan bukan karena hukum-hukum tersebut dipaksakan kepadanya oleh kehendak apa pun di luar dirinya, baik manusiawi maupun ilahiah, baik kolektif maupun individual.”

Bakunin juga menolak gagasan keistimewaan posisi atau kelas apa pun, karena kesenjangan sosial dan ekonomi akibat sistem kelas serta sistem penindasan nasional dan gender bertentangan dengan kebebasan individu.

Saat liberalisme bersikeras bahwa pasar bebas dan pemerintah konstitusional memungkinkan kebebasan individu, Bakunin bersikeras bahwa kapitalisme dan negara, dalam bentuk apapun, bertentangan dengan kebebasan individu buruh dan kaum tani. 

Tapi, yang saya paling ingat pernyataan Bakunin “Jika Anda mengajak seorang revolusioner yang paling militan, memberinya kekuasaan absolut, dalam setahun dia akan jadi lebih buruk daripada Tsar sendiri.”

Kurang lebih dua tokoh itu yang berperan penting dalam kehadiran Anarkisme dan segala variannya di muka bumi ini. Lalu, bagaimana anarkisme yang terlahir di eropa bisa sampai ke Indonesia? Ideologi dan gerakan anarkisme sudah masuk ke Indonesia sejak awal tahun 1900-an. 

Salah sekian tokoh pergerakan pra-kemerdekaan Indonesia yang anarkis adalah Douwes Dekker, yang bersama Ki Hajar Dewantara dan Cipto Mangunkusumo pada tahun 1912 mendirikan Indische Partij. Gerakan anarkisme-sindikalis ini semakin massif pasca terbentuknya VSTP (Serikat Buruh Kereta Api dan Trem) dan ISDV (Perhimpunan Sosialis-Demokrat Hindia) di Hindia Belanda pada kurun waktu 1908-1918, yang mana serikat-serikat tersebut muncul kecenderungan gerakan anarko-sindikalisme.

Jadi, gerakan Anarkisme dan varian lainnya bukan hal baru di Indonesia, sudah ada di Indonesia atau Hindia Belanda sebelum kemerdekaan republik Indonesia pada tahun 1945. Saya katakan sekali lagi, bahwa anarkisme bukan "barang baru" di Indonesia. 

Saya seakan terlalu jauh membahas mengenai Anarkisme untuk sekedar berkomentar mengenai penangkapan 5 orang dengan pamflet dan stensil bertuliskan "Sudah Krisis Waktunya Membakar" yang ditangkap pihak kepolisian kota Tangerang pada Jumat 4 April 2020. Mungkin bukan saya saja yang terlalu jauh dan panjang lebar membahas anarkisme, mungkin pembahasan ini sudah terlalu jauh sejak disandingkannya kata "anarkisme" dan "Vandalisme" oleh pemberitaan.

Vandalisme sendiri diartikan secara sederhana merujuk kepada suatu sikap kebiasaan yang berasal dari nama bangsa vandal pada zaman romawi kuno, yang merusak kota Roma secara biadab pada tahun 455. Pada abad pencerahan Roma diidolakan, sementara bangsa Goth dan Vandal dipersalahkan karena menghancurkan kota kuno yang indah tersebut. 

Sebenarnya bangsa Vandal tidaklah merusak lebih banyak dibandingkan para penyerbu kota itu di masa lalu, tetapi nama bangsa itu mengilhami penyair Britania Raya, John Dryden, pada 1694 menulis bahwa bangsa Goth dan Vandal adalah bangsa Utara yang kasar, merusak banyak sekali monumen. 

Memang bangsa Vandal sengaja merusak banyak patung, sehingga namanya dikaitkan dengan perusakan benda seni. Istilah Vandalisme diutarakan pertama kali pada tahun 1794 oleh Henri Grégoire, Uskup Blois, untuk menyebut perusakan karya seni pada waktu Revolusi Perancis. 

Istilah itu segera dipakai di seluruh Eropa. Penggunaan baru ini berperan dalam memberi kesan pada zaman modern bahwa bangsa Vandal pada zaman kuno merupakan bangsa barbar atau tidak beradab yang suka merusak. Jadi, bisa kita pahami siapapun orang atau kelompok yang merusak tatanan keindahan suatu kota digolongkan menjadi kaum Vandal, bukan Anarko. 

Sebelum bertambah jauh pembahasan ini, saya kembali membahas mengenai Pamflet "Sudah Krisis Waktunya Membakar". Pertanyaan saya, adakah delik hukum yang tepat digunakan oleh pihak kepolisian untuk memproses kasus tersebut? Jika dalilnya kalimat tersebut kalimat yang dianggap provokatif dan penghasutan, maka siapa yang menghasut dan siapa yang dihasut? Siapa yang menjadi provokator dan siapa yang akan diprovokasi? 

Sepertinya pertanyaan ini harus segera terjawab terlebih dahulu, setidaknya setelah pemerintah berhasil mengentaskan wabah Covid-19 dari Indonesia. Karena saya berkali kali mencoba memahami makna tulisan tersebut juga tidak sampai pada makna seperti yang diasumsikan oleh orang yang diliput media-media mainstream, untuk sebuah tulisan yang katanya provokatif dan menghasut, menurut saya lebih provokatif slogan "2 anak cukup."

Sebelum saya akhiri tulisan yang tak seberapa ini, kita mungkin telah melupakan bahwa apa yang dilakukan oleh sekelompok orang itu bagian dari karya seni, ya memang seni, karena tulisan "Sudah Krisis Waktunya Membakar" kalau tidak salah dibuat dengan teknik stensil.

Sebagai sebuah karya seni, sejatinya, kita tidak akan pernah bisa memberikan nilai pada setiap karya seni, bahkan kebencian Charles Saatchi pada karya-karya Jean-Michel Basquiat sekalipun tidak mengurangi keindahan dan nilai dari karya Basquiat. Jadi, ketika stensil tersebut dipandang sebagai sebuah karya seni tidak bisa dikatakan salah atau jelek oleh pihak manapun. Karya seni tetaplah menjadi karya seni, apapun bentuk dan hasilnya. 

Jadi sebenarnya tidak baik jika ada pihak-pihak yang berusaha menyibukkan dirinya di tengah badai pandemi Covid-19 yang sedang menimpa kita dengan urusan sepele dan "receh" seperti itu, jangan berlebihan menyikapi sebuah tulisan, apalah artinya sebuah tulisan hari ini? 

Karena yang sangat berarti saat ini ketika pemerintah memang benar-benar mampu bekerja untuk mengatasi pandemi Covid19 yang menimpa masyarakat Indonesia agar masyarakat bisa kembali hidup normal dan diberikan kepastian oleh negara soal nasib akan mata pencahariannya, tentang rindu kampung halamannya dan tentang ketersediaan fasilitas kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini. Karena sesungguhnya yang kita butuhkan bukan sekedar stabilitas, tapi kepastian akan keselamatan hidup kita di tengah wabah. 

Begitu kurang lebihnya, Kamerad.

* Penulis Dipo Suryo Wijoyo pemuda yang menunggu revolusi dan cinta sejati sambil minum kopi. Dipo dapat disapa melalui akun IG @dipo.wijoyo

No comments:

Powered by Blogger.