Mendadak Saleh

Penulis : Dipo Suryo Wijoyo
Fenomena baru muncul di media sosial belakangan ini. Ya, selain merebaknya hashtag #StayatHome, #DirumahAja, dan hashtag sejenis lainnya, kini banyak orang ramai berbondong-bondong menampilkan citranya agar terlihat “saleh” di hadapan publik.

Memberikan tip kepada pekerja ojek online, gerakan kolektif berbagi masker dan hand sanitizer, sembako dan nasi bungkus adalah sebagai contohnya. Yaaa, solidaritas mulai terbangun di tengah masyarakat yang sedang frustasi akibat lockdown yang tak tahu entah sampai kapan akan dicabut.

Ngomong-ngomong soal lockdown, salah satu ustad prominen berbagi anekdot, ia berkata: “Ambil sisi positifnya saja, Tuhan sedang mengajarkan kita bagaimana mencuci tangan dengan benar”.

Saya sepakat dengan pernyataan ini, sebab, dengan adanya pandemi Covid-19 kita jadi dapat belajar akan pentingnya arti kebersihan. Kita juga akhirnya memberi jeda pada kebiasaan-kebiasaan kita sebagai makhluk sosial, bekerja, bertemu dengan orang-orang sekitar, keluarga, juga dengan kekasih tersayang. Ah rinduunyaaa….

Okay, balik lagi pada topik bahasan. Pada prinsipnya, saya tetap berkeyakinan bahwa berbagi kepada sesama itu merupakan hal yang baik dan terpuji. Maka, saya tidak akan berkomentar apapun soal berbagi rezeki, masker, hand sanitizer atau apapun itu.

Saya cuma risi pada masyarakat latah yang mendadak saleh dalam tampilan dan citranya. Seperti kata Yasraf Amir Piliang, ia menyebutnya dengan istilah “Kesalehan Virtualistik”

Kesalehan jenis ini dibangun oleh gemerlap cahaya citra dan memanipulasi tanda. Kesalehan hanya sebatas citra, imej, kesan dan bukan pada realitas sebenarnya.

Kita bisa saksikan ke depannya, apa rasa berbagi ini bertahan sampai bulan Ramadhan? Bulan Syawal? atau Tahun depan? Yang jelas, kita tidak akan pernah benar-benar tau. Bisa jadi, ketika tren berbagi sudah tidak merebak di masyarakat, maka berakhir pula rasa ingin berbagi kepada sesama.

Kesalehan virtual ini kemudian hanya menonjolkan satu dimensi saja, dimensi citra untuk orang orang yang melihat dirinya melalui media sosial, tapi rapuh di dimensi lainnya, yaitu dimensi dalam dirinya sendiri. Kita mungkin lupa bahwa berbagi itu adalah suatu keharusan, entah dari sudut pandang agama maupun sudut pandang sosial.

Semoga saja rasa ingin berbagi akan terus terpelihara di tengah masyarakat, bukan hanya untuk para driver ojek online, atau untuk driver taksi di pinggir jalan, tapi juga untuk seluruh pekerja yang dirumahkan tanpa santunan, untuk para Asisten Rumah Tangga (ART) yang mendadak pulang kampung karena tidak diizinkan kembali bekerja oleh majikannya, atau buruh-buruh pabrik yang sampai hari ini mungkin masih diminta untuk menghidupkan mesin-mesin pabriknya tanpa ada kejelasan mengenai nasib kesehatan mereka.

Sekali lagi saya katakan, saya tidak menentang apa yang dilakukan khalayak ramai saat ini. Saya hanya ingin bertanya seberapa lama kesadaran dalam berbagi akan terus bekerja di setiap diri masing-masing orang? Atau mungkin saya juga terjebak pada citra virtualistik, bahwa saya harus memperhatikan orang-orang yang sedang berbagi di Instastory? Who knows

Saya akhiri celotehan ini dengan potongan larik dari lagu Fariz RM berjudul Selangkah Ke Seberang, “Hati tergugat cipta nan jara, Nikmatnya hidup indah persada, Gelisah seakan turut sirna, Di antara rawan kancah nyata, Kan kujelang kehampaan gulita, Penuh jerat kehidupan alamnya”

Satu pesan saya, tetap di rumah saja, jangan kluyuran!

dan,

Semoga istiqamah tetap menjadi milik orang-orang yang saleh, Fellas
*Penulis Dipo Suryo Wijoyo, Pria yang mendadak ragu tentang revolusi tapi tetap menanti cinta sejati. Dipo dapat dihubungi lewat akun IG @dipo.suryo

No comments:

Powered by Blogger.