Merdeka di Saat pandemi

man wearing brown and white top
Penulis: Hendri Kurniawan

Madilog

Permasalahan yang melanda ilmu-ilmu sosial pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia (yang mungkin hingga saat ini), adalah ketidakmampuan menjelaskan tentang apa dan bagaimana seharusnya kerangka berpikir ideal bagi tiap individu-individu dalam masyarakat. Pada era kegelapan itulah seorang tokoh bangsa yang terlupakan bernama Tan Malaka mengemukakan gagasannya tentang “Madilog” yaitu Materialisme, Dialektika dan Logika, yang kemudian memberikan suluh di tengah kegelapan proses berfikir masyarakat Indonesia.

Menurut Tan, Logika memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan serta pengkajian pengetahuan tertentu. Logika menjadi dasar yang menentukan pemikiran agar lurus, tepat dan sehat. Dalam ranah berpikir, logika hanya berada pada daerah A dan bukan A atau daerah hitam dan putih. Logika tidak bisa digunakan dalam “daerah abu-abu”. Namun, daerah logika dapat takluk pada daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah Dialektika. Bukan pula dialektika yang beralasan pikiran semata-mata, melainkan dialektika yang beralasan pada benda nyata. 

Sederhananya, Tan melihat bahwa pada saat itu bangsa Indonesia masih dipengaruhi hal yang serba tidak masuk akal (logika mistik) seperti mengkultuskan takhayul, mantra, roh, ramalan, dan sebangsanya. Hal ini merupakan efek dari kebudayaan feodalisme-tradisional dan penjajahan kolonial yang seakan “membunuh” cara berpikir bangsa Indonesia. Baginya, logika tersebut tidak dapat menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Perlu kemerdekaan dalam berpikir dahulu sebelum meraih kemerdekaan Negara yang sesungguhnya.


Gagasan di saat Pandemi

Dewasa ini masyarakat dunia berlomba mencari vaksin untuk mengatasi wabah Corona. Demikian pula Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan Inovasi Nasional membentuk Tim pengembangan imunomodulator. Kementerian Pertanian tidak ketinggalan dengan gagasannya mengeluarkan kalung Eucalyptus. Sebuah langkah yang perlu mendapat apresiasi tentunya. 

Tidak hanya pemerintah, swasta bahkan perorangan pun mengembangkannya. Video yang dibuat content creator bernama Anji bersama Hadi Pranoto menjadi heboh, karena Hadi Pranoto mengklaim telah menemukan obat yang mampu menyembuhkan Corona Virus hanya dalam beberapa hari. Celakanya, video tersebut mendatangkan malapetaka bagi mereka berdua. Anji dan Hadi Pranoto dilaporkan atas dugaan tindak pidana ITE dan atau menyebarkan berita bohong.

Menurut penulis, pelaporan Hadi Pranoto oleh Cyber Indonesia ke polisi adalah sangat terburu-buru karena bagaimanapun juga, dalam asas kemerdekaan berpikir, tidak ada salahnya seorang Hadi Pranoto mengklaim menemukan obat yang mampu menyembuhkan Corona Virus dalam beberapa hari.

Proses dialog selanjutnya perlu dilakukan untuk memverifikasi cara berpikir Hadi Pranoto. Respon boleh dikeluarkan jika dirasa metode penelitian yang dilakukan adalah salah, proses berpikirnya cacat ataupun penarikan kesimpulannya tidak tepat.

Jika memang dirasa keliru, patahkan argumennya, hinakan cara berpikirnya, namun jangan patahkan semangat orang lain untuk berpikir dengan mempolisikan sebuah gagasan. Dan lebih buruk lagi, jangan sampai birokrasi menghambat penemu dan hasil temuannya untuk memasuki dunia terapan. Karena sesungguhnya tidak ada kebenaran absolut ketika kita berbicara mengenai ilmu pengetahuan.

Contoh sebuah respon untuk klaim Hadi Pranoto adalah tanggapan Ahmad Rusdan Utomo, PhD yang disampaikan melalui kanal Youtube Narasi Newsroom. Memberikan contoh sebuah respon yang seharusnya dikeluarkan oleh intelektual.

Selain perlombaan mencari vaksin, masyarakat juga berlomba mengeluarkan gagasan dan pemikirannya untuk merespon situasi pandemi ini. Salah satu nama yang sering terdengar adalah musisi asal bali, Jerinx-SID. 


Jerinx yang memiliki gagasan menolak Rapid-Test sebagai syarat administrasi berujung pada pelaporan dirinya oleh IDI-Bali dengan sangkaan pasal pencemaran nama baik dan UU ITE. Dalih utama dalam politik dan hukum di saat terjadi perdebatan di publik biasanya dikaitkan dengan integritas seseorang (argumentum ad hominem).

Orang senang dengan celah kelemahan pribadi untuk menyerangnya daripada harus mengakui integritas seseorang. Sehingga pembahasannya terkadang melenceng dari substansi yang seharusnya ditanggapi. Anggapan bahwa Jerinx adalah seorang kasar yang menggunakan frasa “Kacung WHO”, drummer bergenre punk rock, dan pria dengan tubuh penuh tato, lebih menarik ketimbang mengomentari niatan Jerinx mengadvokasi seorang Ibu yang keguguran karena tidak memiliki biaya untuk melakukan Swab Test. 

Kita harus bisa membiasakan wacana publik untuk bisa mendorong percakapan yang lebih sehat tanpa harus mempidanakan segala sesuatu yang tidak kita sukai. Saya sebagai masyarakatpun bingung, bagaimana suatu kalimat akan disebut sebagai kebebasan berekspresi, atau kalimat akan disebut sebagai ujaran kebencian. 

Semoga di usia kemerdekaan ke-75 ini, bangsa Indonesia dapat merdeka seutuhnya. Kemerdekaan berpikir adalah penting sehingga ilmu pengetahuan akan terus berkembang untuk kemudian dapat mencapai tujuan dari ilmu pengetahuan, yaitu kesejahteraan masyarakat.

Dirgahayu Republik Indonesia!


**Penulis adalah pekerja di perusahaan swasta yang bergerak di bidang bioteknologi untuk pertanian dan lingkungan
*Penulis dapat disapa melalui IG: @jonofarmid atau email: hendrikurnia95@gmail.com

No comments:

Powered by Blogger.