Fitrah Manusia Kini

agama, Alkitab, berdoa
Penulis: Didit Suryo

Lihat, bagaimana orang-orang ramai mendatangi pusat-pusat perbelanjaan, baik pasar maupun swalayan hanya untuk berbelanja. Mereka abai akan ancaman keselamatan dari virus Covid-19. Hasrat berbelanja kita lebih kuat dan tak terbendung, meskipun di tengah ancaman virus Covid-19. 

Bahkan dalam suasana ibadah puasa – yang seharusnya menahan hawa nafsu – hasrat berbelanja kita tak tertahankan, malahan menjadi berlipatganda dari hari biasa. Buktinya, bahwa tingkat konsumsi kita justru meningkat saat bulan Ramadhan. 

Kita dapat menahan lapar dan haus pada siang hari, tapi akan mengonsumsi makanan berkali lipat ketika berbuka. Atau tetap saja kita akan berlomba-lomba menjadi yang petama untuk berbelanja fashion terbaru (baju muslim, sarung, kerudung), gadget terbaru (smartphone, laptop, smartwatch) dan lifestyle baru (bersepeda, zumba, yoga). 

Hasrat berbelanja serba baru ini, seolah menjadi kebutuhan menjelang perayaan hari raya Idul Fitri, dan sebagaimana perayaan maka harus dilaksanakan secara meriah, penuh euforia. Perayaan ini juga diperlukan, karena sebagaimana sebagian muslim beranggapan bahwa Idul Fitri merupakan hari kemenangan. 

Nyatanya memang demikian, bahwa Idul Fitri adalah kemenangan, kemenangan kapitalisme yang telah merasuk dalam kehidupan beragama kita demi mendapatkan profit yang maksimal. 


Belanja Terus Sampai Mati 

Menurut Jean Baudrillard, kapitalisme telah menciptakan apa yang disebutnya sebagai masyarakat konsumsi. Dalam pandangannya, masyarakat konsumsi berbelanja sesuatu berdasarkan kebutuhan palsu, bukan atas dasar kebutuhan asli atau berdasar nilai guna dan nilai tukar suatu barang. 

Masyarakat konsumsi dibujuk melalui kode dan tanda dalam sistem kapitalisme sehingga seolah-olah menciptakan kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan oleh seseorang. Misalnya, untuk dapat merayakan Idul Fitri dibutuhkan baju baru, sepatu baru, hijab baru, atau peci baru sesuai dengan tren masa kini. 

Sistem kapitalisme menjerat masyarakat konsumsi untuk berbelanja dengan mesin-mesin hasrat. Menjelang Idul Fitri ini, mesin hasrat tersebut dapat pemberian harga diskon, paket promo, atau pemberian cashback jika kita belanja barang-barang tersebut. Jadilah, mesin-mesin hasrat tersebut memacu libido ekonomi kita (meminjam istilah Jean-Francois Lyotard) untuk berbelanja, belanja tanpa henti bahkan sampai kita mati. 

Kapitalisme yang berbasis pada pelipatgandaan profit, telah mendorong segala kehidupan kita saat ini hanya bermotif ekonomi. Bahkan ekonomi dalam arti sempit yakni uang (materi). Pun demikian, dengan agama dan segala aspeknya telah diserap hanya pada kepentingan ekonomi. 

Orang bisa hidup tanpa agama, tapi saat ini, orang tak bisa bertahan tanpa uang. Segala kebutuhan manusia tak bisa terselesaikan dengan doa, tapi dengan uang, tak hanya kebutuhan akan dapat terpenuhi, orang bahkan bisa membeli doa. 

Momentum Idul Fitri yang seharusnya merupakan momen yang sakral dalam aspek keagamaan bagi umat muslim menjadi tereduksi dengan libido ekonomi dalam masyarakat konsumsi kita. Ada yang kurang rasanya ketika kita tak memakai baju koko baru, hijab baru, dan alas kaki yang baru untuk datang ke masjid atau lapangan untuk melaksanakan sholat Ied. 

Ada rasa malu, minder, atau rendah diri ketika kita bersilaturahmi dengan keluarga atau tetangga tak memakai baju baru, tas baru, atau bila perlu kendaraan baru. Keharusan palsu untuk memakai hal-hal baru di Idul Fitri itu menyebabkan kita melakukan ritual untuk berbelanja barang-barang baru menjelang hari raya. Anehnya lagi, kita juga merasa perlu membeli uang baru sebagai angpao dalam merayakan Idul Fitri. 

Perayaan Idul Fitri yang seharusnya sakral dan penuh spiritual, menjadi momentum dalam menumpuk segala sesuatu yang bersifat materi. Masyarakat konsumsi larut dalam kemeriahan dan kegembiraan, memuaskan hasrat libido ekonomi kita. 


Manusia Ekonomi

Idul Fitri sering dimaknai sebagai kembalinya fitrah kemanusiaan kita, diibaratkan sebagai seorang yang baru lahir, tanpa dosa dan bersih. 

Sayangnya dalam masyarakat ekonomi konsumsi, kelahiran seorang bayi, saat ini telah dipenuhi oleh berbagai ekspektasi, utamanya ekspektasi ketika tumbuh besar nantinya akan menjadi orang sukses dan mengangkat derajat orang tua. Maka, ketika tumbuh, dia akan disekolahkan – mungkin sampai ke perguruan tinggi - agar dapat meraih kesuksesan, yang ternyata lebih kepada motif ekonomi. 

Lebih tepatnya begini alurnya, ketika lulus dari sekolah maka dia akan mencari pekerjaan, demi mendapat uang. Uang yang didapat dari pekerjaannya akan dia belanjakan untuk membeli (konsumsi) suatu barang. Yang sayangnya, barang yang dibeli bukan merupakan kebutuhan yang sebenarnya, akan tetapi merupakan kebutuhan palsu karena libido ekonomi yang kuat tak bisa dibendung lagi. 

Maka, kembali pada fitrah manusia adalah kembali menjadi manusia ekonomi (homo economicus). Kembali memenuhi kebutuhan manusia dengan berbelanja, mengonsumsi, atau membeli dan sarana yang bisa digunakan adalah dengan uang. 

Dengan demikian, fitrah manusia ekonomi bertujuan memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Manusia ekonomi bisa melakukan apapun demi mendapat uang, dengan bekerja, berdagang, membunuh, korupsi, atau bisa jadi dengan berjualan agama. Bagi manusia ekonomi apapun sah asal dapat uang, karena uang adalah tujuan. Uang adalah tuhan, mengalahkan Tuhan spiritual dalam agama. 

Jangan-jangan ketika kita masih risau karena belum membeli baju, sepatu, atau membeli uang baru di hari raya Idul Fitri tahun ini, kita tak menyadari bahwa kita telah berubah menjadi manusia ekonomi dalam masyarakat konsumsi dan terjerat dalam kapitalisme global. 

Tapi tak mengapa, karena memang menjadi manusia ekonomi membawa kenikmatan dan kenyamanan, buktinya selama ini kita baik-baik saja walaupun dieksploitasi habis-habisan tenaga kita dalam bekerja hanya untuk dapat uang yang hanya rembesan (belum tetesan) dari kapitalisme. Dan kita merasa senang berbelanja dengan uang rembesan tersebut. Dengan berbelanja libido ekonomi kita terpuaskan, tapi kita tak akan pernah berhenti berbelanja. 

Puasa yang seharusnya dapat menahan hasrat manusia, nyatanya juga tak bisa membendung hasrat berbelanja kita. Atau memang, berbelanja tak hanya sekedar hasrat bagi manusia, berbelanja adalah fitrah manusia kini sebagaimana hasrat seksual manusia. Waulahhua’lam!

No comments:

Powered by Blogger.