Menyingkap Adagium "Salus Populi Suprema Lex Esto"

belajar, berjilid keras, buku-buku
Penulis: Jordan Elang

Hari ini, sudah lebih dari 1 bulan sejak pertama kalinya pemerintah memberlakukan PSBB di Jakarta. PSBB yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 merupakan protokol resmi penanganan Covid-19 di Indonesia sebagai aturan pelaksana pasal 60 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. 

Pelaksanaan PSBB ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2020. Pemberlakuan pertama ini diuji cobakan di Jakarta sebagai pusat episentrum penyebaran Covid-19 di Indonesia, yang segera disusul oleh Bodebek, Jawa Barat secara provinsi dan segera disusul oleh daerah-daerah lain atas izin dari menteri kesehatan. 

Agaknya, jika kita lihat secara kasar pemberlakuan PSBB tidak serta merta mampu untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Per tanggal 13 Mei 2020, mengacu pada laman kawalcovid-19.id total ada 15.438 kasus positif, 11.123 dalam perawatan, 3.287 pasien dinyatakan sembuh, dan 1028 meninggal. Untuk lebih jelasnya liat gambar dibawah ini: 


Laju penyebaran virus yang eksponensial tentu memerlukan penanganan ekstra, khususnya soal regulasi sebagai dasar hukum untuk menentukan mana perbuatan yang diperbolehkan dan mana yang dilarang untuk dilakukan, khususnya dalam masa pandemi seperti sekarang. 

Permasalahannya adalah seperangkat protokol yang diberlakukan untuk penanganan Covid-19 tidak memungkinkan untuk memberikan batasan yang jelas tersebut. 

Maka, untuk menambal berbagai kelemahan dari protokol tersebut aparatus ideologis negara melalui menkopolhukam, diikuti dengan lembaga-lembaga lain menggunakan adagium ‘Salus Populi Suprema Lex Esto’. 


Kesehatan atau Ekonomi? 

Tercatat ada beberapa permasalahan mengenai protokol Covid-19, khususnya mengenai strategi utama pemerintah dalam bentuk PSBB, yaitu: ketidakjelasan rujukan Undang-Undang terkait dan cherry picking atau pilah-pilih terkait dengan kriteria pemberlakuan status kedaruratan yang terbatas hanya pada PSBB dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. 

Padahal dalam Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan, hal yang diatur bukan hanya PSBB, melainkan kriteria dan pelaksanaan dari karantina rumah, karantina rumah sakit dan karantina wilayah. 

Jadi bagaimana sebenarnya PSBB ini tidak bisa menjadi acuan pelaksana, logika sederhananya seperti ini: PP merupakan aturan pelaksana dari UU, sementara UU terkait, tidak megatur secara eksplisit mengenai suatu hal (dalam hal ini Covid-19). Lebih sederhana lagi, secara yuridis PSBB tidak nyambung. 

Maka proposisinya, protokol yang diperlukan adalah membuat Perppu yang mengatur secara khusus dan rigid mengenai Covid-19, dengan mengadopsi pasal-pasal yang relevan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, sembari menambahkan hal-hal yang diperlukan untuk penangan virus tersebut secara khusus. 

Permasalahan kebijakan yang gamang ini pada dasarnya bermuara pada distingsi antara kepentingan kesehatan rakyat atau kepentingan ekonomi. 

Dalam PSBB, pemerintah pusat tidak wajib dan tidak punya beban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada di wilayah PSBB. Sementara dalam karantina wilayah, “kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.” 

Alokasi anggaran penanggulangan Covid-19 di Indonesia sebesar 2,5% dari PDB terbilang kecil jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia 17%, Singapura 12%, atau Thailand 9% dari total PDB. 

Alokasi anggaran 2,5% mempertimbangkan bahwa PSBB merupakan jalan ‘moderat’ dengan kalkulasi anggaran pemerintah yang terbatas dan pertimbangan geografis Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan. 

Belum lagi soal ancaman resesi ekonomi pasca-pandemi; Skenario terburuk dari pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 0,5%, 1,1-3,78 juta angka kemiskinan, dan 2,9 juta sampai 5,2 juta orang akan kehilangan pekerjaan. 

Sebagai catatan tambahan, dampak krisis moneter 1998 hanya diliat dari satu aspek yaitu, tingkat pengangguran yang naik akibat krisis moneter. Waktu itu, butuh bertahun-tahun untuk menstabilkan kurvanya, artinya butuh bertahun-tahun untuk melandaikan tingkat pengangguran sebelum kembali diterjang oleh resesi ekonomi pada tahun 2008. Seperti bisa dilihat pada gambar dibawah: 


Penulis tepikan terlebih dahulu permasalahan ini untuk dielaborasi pada tulisan berikutnya. 

Dengan sekelumit keruwetan tata kelola peraturan yang semrawut diatas. 

Dan (pada akhirnya) dengan disahkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. 

Dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau yang pada substansinya tidak menggambarkan secara jelas mengenai public health policy

Bahkan tidak dijelaskan definisi mengenai Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 untuk merujuk secara langsung kriteria tersebut. 

Ini yang kemudian menurut penulis bahwa negara lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi. 


Asal ada aturan 

Dalam kajian critical legal studies anggapan bahwa hukum (dan produk peraturan perundang-undangannya) yang seolah-olah apolitis dan bebas nilai di-negasikan. 

Bahwa hukum merupakan produk politis yang dalam pembentukannya terjadi potensi konflik kepentingan. Kepentingan tersebut dalam hukum dimanifestasikan dalam kerangka untuk menghasilkan, mereproduksi, dan membenarkan ketidakadilan atau ketidaksetaraan. 

Dari tata kelola peraturan yang tidak rigid, pasal yang rujukannya tidak jelas dan peraturan yang memprioritaskan kepentingan ekonomi, maka tidak heran sebenarnya bahwa seperangkat protokol covid tersebut tidak mempunyai legitimasi hukum yang kuat untuk mengatur kepentingan sipil. 

Logika yang tidak koheren ini berdampak pada sikap apologetis, permisif, dan manasuka, seperti adanya wacana darurat sipil ketika PSBB dirasa tidak efektif, adanya wacana untuk denda terhadap pemudik. Dan hal-hal lain yang dirasa ‘baik’ tapi secara hukum legitimasinya lemah untuk bisa dijalankan. 

Dalam berbagai kesempatan (akhirnya) para politikus dan pejabat di Indonesia sering mengungkapkan adagium salus populi suprema lex esto yang terjemahan bebasnya kurang lebih keselamatan rakyat, merupakan hukum tertinggi. Wacana ini digulirkan ke publik bahwasannya ketidaksiapan protokol Covid-19 ini dapat dirintangi dan dapat dibenarkan demi keselamatan rakyat. 

Untuk menjembatani das sein dan das sollen dari protokol Covid-19 tersebut, maka wacana salus populi lex esto kemudian diperkenalkan. 

Roscoe Pound dalam ide nya mengenai law as a tool of social engineering, untuk mentransformasikan hukum dalam tataran ide menjadi hukum dalam tataran realitas, hukum tidak boleh diisolasi dan terisolasi dari realitas sosial yang dinamis. 

Hukum sebagai social engineering dimaksudkan oleh Roscoe Pound untuk mengharmonisasikan berbagai kepentingan yang ada didalam masyarakat. Dalam hal ini, kepentingan mayor antara kesehatan dan ekonomi walaupun payung hukum nya tidak memiliki legitimasi yang kuat, diharapkan bisa dijalankan dalam realitas masyarakat yang serba dinamis. 

Dalam perspektif hukum sebagai social engineering dapat dipahami bahwa adagium tersebut digunakan untuk tercapainya kohesi sosial. Tetapi, penulis beranggapan bahwa menegasikan peraturan dan melepaskan ranah ideal dari horizon hukum itu sendiri tidak bisa dibenarkan. 

Perlu ada keinginan yang terlembagakan. Artinya, harus ada political will dari para pemangku kebijakan untuk bisa mengoperasionalkan doktrin dari Roscoe Pound ini, yang dimanifestasikan dalam kerangka kebijakan yang lebih bisa memprioritaskan kepentingan terkait darurat kesehatan rakyat terlebih dahulu. 

Ketika adagium itu hanya berhenti pada tataran wacana tanpa termanifestasikan dengan political will, hal ini sama saja dengan bentuk hegemoni pengetahuan yang direproduksi oleh negara. 

Melalui hegemoni pengetahuan, negara menawarkan imajinasi alternatif tentang penegakan hukum yang ideal. Yang berbahaya dari hal seperti ini, dialektika yang dihasilkan bukan malah menciptakan tatanan hukum yang berorientasi pada keadilan tetapi malah memproduksi ketidakadilan itu sendiri. 

Tetapi, walaupun begitu, karena kita merupakan ‘bangsa yang beradab dan beragama’ selalu ada hikmah yang bisa diambil. Setidaknya para politikus dan pejabat di Indonesia belajar tata bahasa dan terminologi baru selain ‘demi bangsa dan negara’ sekarang ditambah ‘salus populi suprema lex esto’. 


(Note: believe in science, dan ikuti aturan yang rasional. Tetap dirumah bagi yang tidak punya kepentingan mendesak untuk keluar rumah. Bagi yang tetap bekerja untuk selalu memakai masker dan sebisa mungkin menerapkan social distancing.)


Referensi:

Tentang data Covid-19:

Tentang data pengangguran:

Tentang data ekonomi:


**Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret 
dapat dihubungi melalui surel: jordanelang8@gmail.com

No comments:

Powered by Blogger.