Teori-Teori Imanen yang Timbul Akibat Cocoklogi di Tengah Pandemi

view of floating open book from stacked books in library
Penulis: Arifin Wahyu Henardi

"Apakah PSBB adalah imbas dari peran pemerintah yang terlalu menggampangkan Pandemi Covid-19 sejak awal?" 

Kabar mengenai virus Corona sudah sempat tersiar sampai ke media-media Indonesia, sejak virus ini telah menjadi perhatian dunia pada 20 Januari 2020. Otoritas kesehatan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, mengatakan tiga orang tewas di Wuhan setelah menderita pneumonia yang disebabkan virus tersebut.

Seharusnya itu menjadi acuan penuh pemerintah RI, khususnya dalam hal ini Kementrian Kesehatan, untuk mengambil peran penelitian guna mencegah virus masuk ke Indonesia. 

Namun, alih-alih mengambil langkah antisipatif, pemerintah malah menganggap enteng hal tersebut. Budi Karya misalnya, berkata: “Tapi (ini) guyonan sama Pak Presiden ya, Insya Allah ya, (virus) COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal”.

Sebab “selentingan” khas pemerintah untuk meredam gejolak chaos karena kepanikan, justru mengindikasikan bahwa pemerintah abai sedari awal, dimulai dengan guyonan, “Mengapa di Indonesia Belum Terdeteksi Virus Corona? Menkes: Karena Doa” atau berita, “Genjot Pariwisata di Tengah Virus Corona, Pemerintah Akan Beri Diskon”. 

Agaknya baik, karena pemerintah berusaha menjadi role model untuk rakyatnya. Sehingga, ketika pemerintah berkata demikian, tentu masyarakatnya akan sedikit lebih tenang. 

Menurut Bakke melalui teori fusi, pada tahun 1950 dalam teori komunikasi organisasinya mengatakan bahwa, organisasi, hingga suatu tahap tertentu, akan mempengaruhi individu. Sementara pada saat yang sama, individu memberikan pengaruh pada organisasi yang dipersonalisasikan oleh setiap individu pegawai dan invidu lainnya yang disosialisasikan oleh organisasi. 

Hal-hal demikian yang membuat masyarakat kita menjadi cenderung biasa saja terhadap alarm awal pandemi ini. Bahkan lebih buruk dari itu, ketidakpercayaan terhadap pemerintah justru ditakutkan akan timbul perlahan. 

Dalam sesi diskusi yang digelar oleh Literashid beberapa hari yang lalu, salah satu rekan Titus Yoan berpendapat “Politik pencitraan adalah bentuk kekerasan simbolik dalam politik. Hal tersebut menghapus ingatan sosial, karena ingatan sosial menagih keadilan. Politik pencitraan bisa menghapus rasa bersalah dan menghapus ingatan sosial, padahal ada banalitas kejahatan yang luar biasa yang menyertainya.” 


Lanjut, menurut hemat saya yang tidak hemat-hemat amat, pemerintah mesti belajar kembali mengenai komunikasi krisis. Menurut Fearn-Banks, ''crisis communication is the dialog between the organization and its publics prior to, during, and after the negative occurrence''. 

Selain itu, Coombs & Sherry juga mengatakan "crisis communication can be defined broadly as the collection, processing, and dissemination of information required to address a crisis situation". 

Sedari awal komunikasi krisis inilah yang kita perlukan, ketika Wuhan mulai mengumumkan adanya virus baru yang muncul dan respon oleh beberapa negara sekaligus WHO yang akhirnya melegitimasi ini sebagai Pandemi. 

Mengutip dari Bung Hizkia dalam bukunya “Ontoantropologi” objek ganjil adalah suatu objek yang muncul sebagai akibat dari kegagalan fantasi fundamental untuk terus menyelubungi kenyataan ontologis objek tersebut sebagai suatu keganjilan. 

Dalam hal ini pemerintah telah gagal dalam meng-cover atau menggiring ranah fantasi Covid sebagai suatu objek yang benar adanya, sehingga pemikiran kita akan Covid men-denial habis-habisan fakta-fakta yang ada. 

Karena “kita makan nasi kucing aja sehat,” karena “kita banjir saja sudah biasa,” karena “kita makan jarang cuci tangan saja sudah biasa.” Bahkan naasnya pemikiran-pemikiran liar yang itu hanya merupakan aspek fantasi dari masyarakat, malah justru dilegitimasi oleh pemerintah dengan pernyataan fenomenalnya. 

Ditambah lagi dengan sinkronisasi pemerintah pusat dan daerah yang masih terbawa sentimen Pilpres 2019 sebelumnya, agaknya menjadikan aksi yang dibutuhkan menjadi kurang begitu maksimal. 

WHO sudah memberikan ancang-ancang dan warning bahwasanya wabah yang bernama Covid-19 ini sudah menjangkit beberapa negara, namun kita malah menafikkan mentah-mentah menggunakan narasi-narasi yang sudah disebutkan sebelumnya. 

Dalam hal kekarantinaan sebenarnya Indonesia sudah mempunyai payung hukum, kita bisa sebut salah satunya: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebagai pemahaman awal dalam pasal (1) menyebut, bahwa kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. 

Namun coba kita kembali lagi ke bulan Maret, dimana pemerintah mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). 

PP itu diteken oleh Presiden Joko Widodo ditanggal 31 Maret 2020. PP ini dikeluarkan tanpa mengacu pada UU sebelum-sebelumnya yang bahkan mengatur secara terperinci mengenai kekarantinaan kesehatan dan penanggulangan bencana skala besar. 


Kita lihat lagi dengan kacamata Unger, salah seorang pecentus CLS yang mana merupakan aliran modern dalam teori hukum. Dalam hal ini Unger mencoba untuk mengintegrasikan paradigma konflik dan paradigma konsensus. 

Paradigma konflik timbul antara konflik kepentingan para pengambil kebijakan terkait dengan bagaimana cara penanganan pandemi Covid ini secepatnya berlaku dari pusat hingga daerah. Sedangkan paradigma konsensus adalah antara pemerintah dengan masyarakat. Kedua paradigma tersebut dapat saling tarik-menarik. 

Esensi pemikiran CLS terletak pada kenyataan bahwa hukum adalah politik dan dalam kedua paradigma tersebut, pemeran politik tertinggi musti mengambil peran untuk menentukan, dalam hal ini sebagai decision maker titik temu atau sumbu ekstrem kedua paradigma tersebut. 

Sehingga perlu digarisbawahi kembali, apakah bobot PP Nomor 21 Tahun 2020 yang dikeluarkan ini mampu mengimbangi kedua paradigma tersebut atau hanya malah berat salah satu? atau kita coba tarik divergensi dari kepentingan ekonomi atau kepentingan kesehatan yang mana nantinya akan berperan lebih dominan? 

Narasi-narasi yang sebelumnya telah membentuk persepsi maupun kebiasaaan dari masyarakat. Kita coba kembali lihat efektifitas dari peraturan mengenai PSBB. Kita tengok keluar hingga masyarakat mulai terbiasa dengan Covid-19 ini. 

Sebagai gambarannya, kita bisa ambil contoh dari kisah imajiner yang diajukan Dworkin dalam Law’s Empire. Dworkin mengajak kita untuk membayangkan adanya sebuah komunitas. 

Para anggota komunitas memiliki seperangkat aturan-aturan yang dibutuhkan bagi bentuk-bentuk perilaku tertentu dalam situasi-situasi tertentu. Para anggota komunitas menyebut aturan-aturan tersebut sebagai “aturan-aturan kesopanan” (rules of courtesy). Salah satu aturan kesopanan yang berlaku ialah “Para petani harus menanggalkan topi yang dikenakan untuk menghormati kaum bangsawan.” 

Awalnya anggota-anggota komunitas sekedar mengikuti begitu saja aturan kesopanan menanggalkan topi bagi para petani tersebut. Pada tahap ini sikap yang ditunjukkan anggota komunitas berada dalam suatu sikap yang tidak reflektif. 

Pada perkembangan berikutnya, mereka secara perlahan mengembangkan suatu sikap yang reflektif atau dalam istilah Dworkin “sikap interpretatif yang kompleks terhadap aturan-aturan kesopanan.” Menurut Dworkin, sikap interpretatif yang kompleks ini memuat dua komponen. 

Pertama, asumsi yang menyatakan bahwa praktik kesopanan tidak semata-mata ada, tetapi praktik tersebut mengisyaratkan adanya nilai tertentu; sebuah nilai yang disajikan bagi minat, tujuan, atau penerapan prinsip. 

Kedua, asumsi yang menyatakan bahwa kebutuhan akan kesopanan tidak bersifat niscaya atau bersifat eksklusif, dalam artian para anggota komunitas harus selalu melakukan aturan kesopanan tersebut tetapi sebaliknya aturan-aturan yang ketat harus selalu dapat dipahami, dimodifikasi, diperluas, dan dibatasi sesuai dengan nilai yang terkandung dalam aturan kesopanan. 

Pada komponen kedua ini, menurut Dworkin, terlihat bahwa seseorang yang menjadi anggota komunitas sedang mencoba untuk mendesakkan pemaknaan (baca: melakukan interpretasi) pada aturan-aturan kesopanan; mencoba memahaminya dengan sebuah pemaknaan terbaik dan berusaha untuk terus menata ulang aturan-aturan kesopanan tersebut dengan cara menyesuaikannya dengan hasil-hasil pemaknaan yang dilakukan.

Akhir kata, Covid-19 cukup diambil pelajaran berharga dari awal kemunculannya hingga sekarang. Mengenai konspirasi, konsensus, serta pemikiran-pemikiran yang berkembang dikalangan masyarakat, apalagi terkait dengan aspek ekonomi.

No comments:

Powered by Blogger.