Moralitas Lima Bintang

analisis, bank, berbayang
Penulis: Didit Suryo

Ketika anda telah memesan transportasi online berbasis aplikasi, biasanya anda akan dimintai untuk memberikan bintang kepada driver. Driver akan meminta anda memberikan bintang lima. Kenapa hal ini terjadi? 

Karena jumlah bintang yang anda berikan akan berpengaruh terhadap performa driver tersebut. Apabila dalam waktu tertentu rerata bintang pada driver tersebut kurang, maka si driver bisa jadi akan mendapatkan sanksi dari operator. 

Jumlah rerata bintang telah menjadi tolok ukur untuk menilai performa si driver, apabila rerata bintang yang diperoleh si driver sedikit, maka si driver dianggap memiliki performa yang buruk, sebaliknya apabila rerata bintang yang diperoleh berjumlah lima (5), performa driver dianggap bagus. 

Saya jadi teringat akan sebuah film menarik berkaitan dengan hal tersebut. Dalam sebuah serial Black Mirror di season 3 episode 1 yang berjudul “Nosedive”, diceritakan, dalam dunia yang serba teknologi di masa depan, pola kehidupan manusia telah bergantung kepada teknologi, dengan media sosial sebagai media utamanya. 

Interaksi sosial di dalam masyarakat juga bergeser dari interaksi langsung dalam dunia nyata, menjadi interaksi dalam ruang media sosial melalui gawai yang dimiliki setiap orang. Tindakan dan pola kehidupan masyarakatnya diatur melalui teknologi gawainya. 

Dalam masyarakat tersebut juga terdapat kelas-kelas sosial yang diukur berdasarkan bintang (rating) yang dimiliki seeorang. Dalam setiap interaksinya dengan orang lain, setiap orang dapat memberikan rating kepada orang lain hanya dengan memberikan bintang. 

Semakin tinggi rating seseorang (mendekati lima bintang), maka akan semakin tinggi pula kelas sosial dalam masyarakat, sebaliknya, semakin rendah rating yang didapat semakin rendah pula kelas sosialnya. 

Dalam masyarakat yang telah dikuasai oleh teknologi digital tersebut, individu-individunya berlomba dalam mendapatkan bintang lima dari masyarakat, yaitu dengan membagikan setiap kegiatan sehari-harinya ke dalam media sosial. 

Jadilah orang-orang yang terobsesi dalam berinteraksi melalui media sosial untuk mendapatkan bintang lima, dengan mengunggah hal-hal yang bersifat membahagiakan, menyenangkan, serba mewah dan serba indah. Akan tetapi, pada dasarnya setiap kegiatan atau momen yang diunggah tersebut bersifat palsu dan sangat bertolak belakang dengan kehidupan nyata. 

Film ini merupakan gambaran bagaimana teknologi digital telah menguasai kehidupan manusia sehingga dapat dengan mudahnya mempengaruhi pola pikir, pola tindak dan nilai-nilai dalam masyarakatnya. 


Moral Elektronik

Perkembangan teknologi informasi saat ini telah membuka ruang yang sangat luas bagi individu dalam mengekspresikan dirinya secara bebas. Sebelum adanya media sosial, misalnya, bisa jadi ada orang-orang yang merasa malu dalam mengekspresikan diri, karena ruang dalam mengekspresikan diri tersebut berada dalam ruang nyata dan interaksi yang diterima dari orang lain juga terjadi secara langsung. 

Akan tetapi, dengan media sosial saat ini (baik Twitter, Instagram, Youtube dll), seseorang tidak perlu lagi menghadapi orang lain secara langsung. Juga interaksi yang diterima dari orang lain tidak terjadi secara langsung, sehingga orang dalam mengekspresikan diri di media sosial dapat menghadirkan image-image diri yang lain, yang bisa jadi sangat berbeda dengan dirinya dalam dunia nyata. 

Yasraf Amir Piliang menyebut kondisi tersebut dengan istilah “anonimitas”. Anonimitas memungkinkan seorang individu menghadirkan image diri, peristiwa tertentu atau gambar-gambar dari kejadian tertentu bukan untuk memberikan informasi yang benar melainkan untuk membuat stereotype, pencitraan atau menggiring anggapan orang agar kita terlihat bahagia, menyenangkan, pandai, kritis, shaleh bahkan mungkin terlihat kaya dan mewah. 

Media sosial teknologi informasi mulai menggeser sebuah norma baru, yang jauh berbeda dengan norma lama. Norma baru yang terbentuk dengan adanya media sosial ini juga telah menimbulkan moralitas baru, yaitu elektronik moral (e-moral). 

Bila moral yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan baik-buruk, benar-salah yang bersumber dari nilai-nilai yang dianut oleh mayarakat tertentu, maka e-moral tidaklah demikian. 

Dalam e-moral, ditentukannya apa yang baik atau tidak baik, benar atau salah diukur melalui komentar dari warganet. Sebagaimana kita ketahui, media sosial yang menjadi masyarakat adalah warganet, yang tidak terbatas pada wilayah dan mempunyai nilai-nilai masyarakat yang berbeda-beda. Penilaian dalam E-moral jelas tak memiliki pandangan yang sama. Sanksi moral yang berlaku adalah hujatan, cibiran dan cacian dari wargnet atau di unfriend dan unfollow

Interaksi yang terjadi di media sosial juga sangat berbeda dengan interaksi dalam dunia nyata. Kita dapat berteman dengan banyak orang di Facebook, bisa punya banyak pengikut (followers) di Twitter dan Instagram tanpa pernah bertatap muka, tanpa tahu nama sebenarnya dan bagaimana mukanya. 

Walaupun terjadi di dunia maya, hal ini ternyata juga bisa berpengaruh terhadap individu di dunia nyata. Banyak komentar-komentar dari warganet yang menghujat kita di media sosial, dapat berdampak pada kondisi psikologis kita. 

Misalnya kita menjadi depresi, galau atau marah menanggapi komentar warganet yang bisa jadi hanya menulis komentar secara sembarangan dan iseng belaka. Atau fenomena yang terjadi saat ini, apabila follower kita berkurang maka seolah-olah kita juga telah kehilangan teman, kehilangan sesuatu yang sangat berharga. 

Apa yang dipaparkan kawan Dipo Suryo dalam tulisannya yang berjudul “Mendadak Shaleh” di laman artikulasi.id merupakan salah satu fenomena bagaimana e-moral ini bekerja. 

Orang-orang melakukan tindakan untuk dapat mencitrakan dirinya sebagai baik dalam masyarakat dunia maya, yang bisa jadi sangat berbeda tindakannya dengan apa yang dilakukan dalam dunia nyata. 

Dalam moral lama, terlihat jelas tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dan dinilai langsung oleh masyarakat di mana dia hidup secara langsung, karena memang demikianlah kebiasaannya sehari-hari. Moral lama merepresentasikan moralitas seseorang yang sebenarnya. e-moral belum tentu merepresentasikan seseorang yang sebenarnya, e-moral dapat membentuk moralitas palsu dari seseorang. 

Perbedaan e-moral dan moralitas lama juga terlihat dari hilangnya batasan-batasan antara dunia anak dan dewasa, dunia pribadi dan publik, dunia palsu dan sebenarnya, dunia nyata dan dunia maya. E-moral telah mengubah pola justifikasi masyarakatnya terhadap nilai-nilai kebaikan atau ketidakbaikan. 

Justifikasi hanya sesederhanan memencet tombol like atau dislike, memberikan emoticon love, hanya menuliskan satu atau dua kalimat dalam kolom komentar saja serta memberikan lima bintang dalam aplikasi smartphone kita. Hal ini jelas tak ditemukan dalam justifikasi moralitas lama kita. 


Menjaga Kemanusiaan 

Tapscott dalam teori “Generasi Net”, menganggap masyarakat kita saat ini sangat bergantung pada teknologi informasi dalam kehidupan sehari-hari. Generasi Net tak ditentukan oleh kelompok umur atau di tahun kapan dia lahir. Akan tetapi, generasi ini ditentukan oleh bagaimana dia dalam kehidupan sehari-harinya tak dapat dilepaskan dari teknologi informasi. 

Maka bisa jadi kakek-kakek yang berumur 70 tahun termasuk dalam generasi Net bila dalam kehidupan sehari-harinya tak lepas dari pemanfaatan kepada teknologi informasi. Atau Bapak Ibu kita yang berumur 45 tahun, atau kakak kita yang berumur 22 tahun bisa jadi termasuk dalam generasi net. Segala aktivitas generasi net tak bisa lepas dari teknologi informasi, mulai dari berkomunikasi (WA), bersosialisasi (IG, Twitter), mendapat informasi, atau bahkan berpikir (Google). 

Maka manusia dalam generasi net seolah hanya menjadi manusia teknis (elektronis) yang hanya bergantung pada teknologi informasi. Termasuk dalam mengukur moralitas kita saat ini, ternyata kita juga bergantung pada teknologi. 

Saya tak dalam kapasitas untuk menjustifikasi apakah e-moral lebih buruk atau lebih baik dari pada moralitas lama. Saya hanya sebatas memaparkan pengamatan saya bahwa memang sudah ada pergerseran tentang moral bagi kita. Jangan sampai kita tenggelam dalam dunia maya, dunia teknologi, yang justru akan menghilangkan kemanusiaan kita. 

Jelas kita tak bisa lagi mengelak dengan perkembangan teknologi informasi saat ini. Yang kita butuhkan hanya tetap menjaga kemanusiaan kita, menjaga sisi-sisi manusia yang tak bisa diselesaikan secara teknis melalui teknologi informasi. 

Menjaga kemanusiaan kita, bisa dimulai dengan sesekali mengambil jarak dengan teknologi infomasi, dengan media sosial. Selalu berpikir terkait dampak dan efek yang dapat terjadi ketika kita melakukan segala kegiatan di dunia maya. Jangan asal menelan informasi, jangan asal memposting atau membuat konten. Mulai cerdas dalam berteknologi informasi. 

Ajak teman terdekatmu minum kopi, sambat tentang hari ini, ambil privasimu tanpa harus dilihat banyak orang. Semoga kita semua tetap menjadi manusia yang memanusia. Setelah selesai membaca, jangan lupa lima bintang-nya ya mas, mbak....

No comments:

Powered by Blogger.